LAMPUNG,nubanyumas.com – Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar mengingatkan, saat ini, dunia telah memasuki era Revolusi Industri 4.0. Ia mengajak masyarakat, khususnya warga NU, untuk merenungkan dan merekontekstualisasi (إعادة النظر) apa yang salah dan apa yang benar dari perjalanan kita selama ini.
“Marilah kita renungkan juga nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh para pendahulu kita dalam bingkai trilogi ukhuwah. Yakni ukhuwah Islamiyah (persaudaraan internal umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah insaniyah/basyariyah (persaudaraan kemanusiaan). Kita bisa tambahkan juga ukhuwah nahdliyah di dalamnya,” jelas KH Miftachul Akhyar dalam pembukaan Muktamar Ke-34 NU yang berlangsung di Pesantren Darussa’dah, Gunung Sugih, Lampung Tengah, Lampung, Rabu (22/12/2021).
Menurut Kiai Miftah, sapaan akrabnya, nilai-nilai itu bisa menjadi cerminan moral yang prima, agar dampak negatif pergeseran tatanan dunia tidak begitu berpengaruh dalam perjalanan anak bangsa di era Revolusi Industri 4.0 dan untuk meraih manfaat bonus demografi. Ia berharap, bonus demografi bukan justru menjadi musibah demografi.
“Kalau era Revolusi Industri 4.0 dianggap menjadi tanda meningkatnya peradaban kemanusiaan, maka kita harus mengimbanginya dengan 4G,” ujarnya.
Baca Juga : Tabuhan Rebana Presiden Jokowi Tandai Pembukaan Muktamar 34 NU
Maksud dari 4G itu adalah pertama Grand Idea, yaitu, visi-misi Nahdlatul Ulama sebagai instrumen untuk menyatukan langkah, baik ulama struktural maupun kultural. Kedua, Grand Design, berupa program-program unggulan yang terukur. Dan ketiga Grand Strategy dengan mengintensifkan penyebaran inovasi yang terencana, terarah dan dikelola dengan baik, serta distribusi kader-kader terbaik NU ke ruang-ruang publik yang tersedia. Serta keempat Grand Control, yaitu sistem dan gerakan Nahdlatul Ulama harus bisa melahirkan garis komando secara organisatoris dari PBNU sampai kepengurusan di tingkat anak ranting.
KH Miftachul Akhyar : Kekuatan Jam’iyah
Rais Aam PBNU juga menegaskan Kekuatan jam’iyah Nahdlatul Ulama sangatlah besar. Tapi, katanya, selama ini banyak warga Nahdlatul Ulama yang hanya memosisikan diri sebagai jamaah, belum ber-jam’iyah atau menjadi bagian dari organisasi NU.
“Inilah yang perlu kita jam’iyah-kan. Jangan sampai nantinya warga tercerai berai hanya karena kepentingan-kepentingan sesaat. Mereka harus mengikuti satu komando, yang dikomando dari PBNU dan didukung oleh para mustasyar,” lanjut KH Miftachul Akhyar.
Menurut Kiai Miftah, men-jam’iyah-kan jamaah dengan segala potensinya yang berkekuatan raksasa ini, menjadi pekerjaan rumah terpenting dari sekian pekerjaan rumah yang lain.
“Sebab, potensi raksasa ini, kalau tidak dikelola dengan baik dan benar, justru akan menjadi beban dan terpecah belah. Menjadi bulan-bulanan dan diperebutkan oleh kelompok-kelompok lain,” ujar KH Miftachul Akhyar.
Dalam kesempatan itu Presiden Jokowi membuka secara resmi Muktamar Ke-34 NU, ditandai dengan pemukulan rebana bersama Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, KH Miftachul Akhyar, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, dan Gubernur Provinsi Lampung Junaidi.(*)