Oleh: KH Muhyiddin Dawoed
Sering orang bilang NU Menggunakan Rukyah, dalam menentukan awal bulan Islam sedangkan Muhammadiyah dengan Hisab. Sebenarnya bukanlah begitu. Rukyah dalam NU adalah sebuah metode penetapan awal bulan Islam dengan melalui penampakan bulan atau metode penampakan ini menjadi landasan utama penetapan awal bulan islam. Bukan berarti NU meninggalkan Hisab (perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah). Hanya saja NU dan Mayoritas Ulama Klasik dan Modern masih mensyaratkan adanya Imkanur Rukyat (kemungkinan hilal/bulan bisa tampak), dan para ahli Astronomi (ahli falak) sepakat bahwa bulan sabit hanya bisa dilihat, bila telah memiliki ketinggian 3 derajat keatas).
Mengapa ada syarat 3 derajat atau lebih ini menjadi syarat masuknya awal bulan?. Apakah ada ketentuan dari pencipta dasar kalender Hijriyah tentang kriteria khusus?.
Yang Saya pahami, bahwa penetapan kalender Hijriyah disepakati sejak dahulu dengan metode penampakan, yang secara hisab mencapai 3 – 4 – 5 atau lebih derajat. Jadi dalam menulis kalender walaupun didasarkan hisab dalam menentukan awal bulan, harus dengan ukuran tersebut. Karena Metode Penampakan sebagai landasan utama, bukan Metode Wujud Hilal, yang digunakan oleh Muhammadiyah. Karena hal ini kalender Hijriyah (Islam) versi Muhammadiyah dan NU bisa berbeda.
Muhammadiyah (MD) melalui Metode atau Landasan Wujudul Hilal sebagai dasar masuknya awal bulan baru Islam. Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip : Ijtimak (konjungsi, 0 derajat) telah terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima’ qablal qhurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.
Teori atau konsep Wujudul Hilal MD, bisa dikatakan konsep bid’ah (dalam pengertian positif) yaitu melakukan terobosan pemikiran klasik dimana penetapan awal bulan yang tadinya menggunakan teori penampakan diganti dengan teori wujud (wujud belum tentu nampak dan nampak pasti wujud).
Metode Muhammadiyah ini, bukan berarti hal yang tidak pernah dipikirkan NU dan lainnya, namun perlu dipikirkan juga, bahwa metode penampakan (rukyah dan imkanur rukyah) adalah metode awal dari penetapan awal bulan Islam. NU dan lainnya tetap masih menjadikan penampakan bulan sebagai metode dasar, bukan hanya karena ada peristiwa ijtimak bulan dan matahari (konjungsi) yang berarti sudah wujud (walaupun belum ndolop; bahasa Banyumasannya).
Kalau ada yang bilang MD lebih moderat daripada NU?, karena MD memandang bahwa konsep rukyah sudah ketinggalan zaman diganti dengan konsep wujud yang sudah bisa dideteksi dengan alat-alat modern.
Pandangan ini tidak benar, karana NU juga menggunakan alat-alat tersebut, hanya saja, penggunaan metode penampakan sebagai metode penentuan awal Hijriyah. Dengan berdasarkan Hadis Nabi.
Untuk berganti menuju metode wujud berdasarkan apa? , karena itu NU dan ulama lainnya masih memegang konsep penampakan, karena memiliki romantisme sejarah awal penentuan bulan hijriyah Khalifah Umar Ibn Khatthab RA dan Tuntunan Jelas dari Nabi Muhmamad SAW, sebagaimana dalam hadis-hasisnya. Sabda Nabi tentang berpuasa atau berbuka karena melihat Hilal, dijadikan landasan sebagai penetap awal bulan. Karena Rukyah hanya bisa dilihat setelah ketinggian 3 derajat atau lebih, maka dalam penulisan penanggalan Kalender NU dan lainya, yang tentunya menggunakan hisab dengan syarat memenuhi kriteria rukyah atau imkanur rukyat
Saya sependapat dengan Prof. Thomas Jamaluddin (Peneliti Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inibasi Nasional (BRIN), bahwa : Perbedaan penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri yang kerap terjadi di Indonesia, bukan karena metode hisab dan rukyat, melainkan karena perbedaan kriteria.
Indonesia dan negara Asean lainya yaitu melalui Menteri Agama Brunei Darussalam Indonesia Malaysia dan Singapura (MABIMS) telah bersepakat membuat kriteria penentuan awal bulan Hijriyah, yaitu ketinggian Hilal mencapai 3 derajat ke atas (tidak harus rukyah dengan mata telanjang, ini pasti akan terlihat; imkanur rukyat; kemungkinan terlihat). Imkanur Rukyah atau kemungkinan dilihat dengan mata telanjang adalah metode baru yang disepakati antara para menteri anggota MABIMS.
Sebenarnya kesepakatan MABIMS bisa menjadi langkah pertama untuk menentukan kriteria secara regional dan diharapkan juga ada kesepakatan secara internasional. Kalau ingin memiliki kalender yng sama harus ada kesepakatan dan ada otaritas tunggal di Dunia Islam.
Karena kita masih belum ada kesepakatan yang mengikat dan sah-sah saja adanya perbedaan. Adanya perbedaan membuat wawasan menjadi luas serta ada kemudahan di dalamnya.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444 H. Untuk Semua Umat Islam Di Dunia. Salam Perjuangan Di Dunia Sampai Ketemu Di Akhir Nanti, Semoga Kita Semua Khusnul Khatimah. Amin Ya Rabbal Alamin. Mohon Maaf Lahir dan Batin.***