DALAM ngaji online Misykatul Anwar halaman 86, Gus Ulil Abshar Abdalla membacakan fasal mengenai penjelasan Al-Ghazali bahwa setiap yang berada di alam jasad ini merupakan refleksi dari apa yang berada di alam malakut, alam para malaikat.
Dunia jasad ini merupakan pencerminan dari alam malakut, tentu dengan rupa wujud yang berbeda. Al-Ghazali lebih menekankan pada aspek sifat atau makna ketimbang aspek physically.
Misal, jika di bumi kita mempunyai matahari dengan sinarnya menerangi alam raya maka di alam malakut juga ada sosok malaikat yang sinarnya sangat terang. Jika di dunia ada kasih sayang, maka di alam malaikat juga ada rasa kasih sayang.
Kemudian Gus Ulil menyitir satu hadits yaitu “Irhamu man fil ardli yarhamkum man fis sama” yang artinya “sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang ada di langit akan menyayangimu.” (HR. Abu Dawud dan Timidzi).
Untuk mencapai kesadaran mengenai alam malakut, tentu tidak cukup hanya dengan membaca buku filsafat atau kitab–kitab sufistik. Namun seseorang harus mempunyai laku rohani, menempa diri dengan riyadloh untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai setiap wujud yang kita lihat di dunia ini.
Seperti para ilmuwan biologi yang melihat tubuh manusia hanya sebagai susunan tulang dan daging kemudian digerakkan oleh sistem saraf yang mendapatkan instruksi dari otak. Namun beruntung kita sebagai umat Islam mendapatkan pengetahuan mengenai ruh, yang menjadi inti dari penggerak tubuh kita.
Meski pengetahuan mengenai ruh baru bisa kita dapatkan dengan membaca Al-Qur’an, Al-Hadits, dan penjelasan dari para ulama. Ulama seperti apa yang recommended untuk kita pelajari ilmunya?
Tentu para ulama sekaliber Al-Ghazali yang mendapatkan pengetahuan tidak hanya dengan membaca buku, tapi juga melalui tirakat untuk mempertajam fungsi ketajaman rohani.
Seharusnya seperti itu pula tahapan kita dalam mencari pengetahuan, membaca buku adalah tahapan paling dasar dari proses belajar. Tahapan selanjutnya adalah para pencari ilmu ini harus mengasah rohani mereka, dengan laku suluk atau riyadloh agar hati menjadi cemerlang dan mampu menampung lebih banyak pengetahuan bahkan yang tidak mereka baca.
Baca Juga : Ratiban, Sebuah Ritual Tolak Bala
Apa pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui membaca? Yaitu pengetahuan yang diperoleh dari hasil tirakat untuk memperoleh kecemerlangan hati sehingga mampu menampung ilmu Allah yang maha luas.
Al-Ghazali memberikan perlambang bahwa hati manusia ini ibarat waduk yang dialiri oleh sungai pengetahuan dari alam malakut. Jika ada pertanyaan iseng mengenai malaikat Jibril yang pensiun karena sudah tidak lagi menyampaikan wahyu kepada Nabi, tentu jawabannya adalah Jibril tidak pensiun. Karena pengetahuan, sebagai bentuk kecil dari wahyu, tentu membutuhkan perantara agar bisa diturunkan dari alam malakut ke alam jasad.
Seperti yang pernah ditulis oleh Gus Ulil dalam buku “Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?” bahwa era Kenabian formal memang sudah berakhir, namun tugas Kenabian yaitu membumikan risalah Islam sesuai konteks perkembangan zaman menjadi tugas kita semua khususnya para santri, ulama, atau cendekiawan muslim.
Nabi Sebagai al-Wadhi Aiman
Sebagaimana waduk yang ada di gunung mempunyai ukuran bermacam-macam, begitu pula hati manusia. Ada hati manusia yang bisa menampung banyak pengetahuan dan ada hati manusia yang hanya bisa menampung sedikit pengetahuan.
Adalah para nabi yang merupakan manusia istimewa yang mempunyai keluasan hati untuk menampung banyak pengetahuan dari alam malakut. Hati para nabi inilah yang kemudian pertama kali menampung pengetahuan dan kemudian diajarkan atau dialirkan kepada manusia.
Al-Ghazali menyebut hati para nabi ini sebagai al-Wadhi Aiman, waduk yang memberkahi manusia dengan luapan pengetahuan. Dari hati yang meluap–luap kemudian pengetahuan mengalir melalui anak sungai, syathi’ul wadhi aiman, yaitu para ulama terdahulu hingga sekarang.
Itu adalah sebuah analogi penjelasan dari hadits Rasulullah SAW “al-‘ulama’ waratsatu-l-anbiya’”, ulama adalah pewaris para nabi.
Lalu bagaimana dengan kita yang orang awam? Hati orang awam dengan “daya tampung” pengetahuan ilahiah yang relatif sedikit merupakan ceruk kecil yang mendapatkan cipratan air anak sungai pengetahuan yang berasal dari hati para kyai dan ulama. (*)