Rumah dengan dinding ‘tabag’, lantai tanah, halaman rumah berlumut hijau, rimbun pepohonan mengitari rumah dan suara binatang khas pegunungan. Demikian ingatan yang masih lekat di benak pria pengurus LazisNU MWC NU Kecamatan Kalibagor ketika memasuki sebuah pedukuhan di salah satu desa di kecamatan tersebut.
Yang tak juga hilang dalam ingatan, ia melihat anjing-anjing berkeliaran di sekitar salah satu rumah warga yang ia lihat dalam perjalanan menuju rumah kayim sekaligus imam musala di pedukuhan tersebut.
“Ya tak salah memelihara anjing sebenarnya. Tetapi memang sudah sangat jarang saya melihat ada pedukuhan seperti itu. Sejenak ketika melintas di pedukuhan itu, saya seperti kembali ke sebuah daerah beberapa puluh tahun lalu,” kata Eko Farisul A’la, nama pria tersebut.
Tak hanya itu setelah ia sampai di rumah salah satu pengurus NU di dusun setempat tersebut, ia mengetahui kalau sebagian besar warga di pedukuhan tersebut berpenghasilan cukup pas-pasan (untuk tidak menyebut sedikit, red). Warga setempat lebih banyak beraktivitas di hutan dengan mencari kayu bakar dan sebagainya.
“Saya sampai ke situ, saya menemukan musala yang baru saja diwakafkan ke NU, namun setelah diwakafkan tiga tahun sudah sebelumnya tak pernah ada qurban di hari raya Idul Adha. Padahal warga di sekitar musala tersebut ada 6 RT,” katanya.
Untuk mencari sebab kenapa tidak ada warga yang berkurban di wilayah tersebut, Eko tak pernah pusing mencarinya. Namun dengan kondisi geografis dan aktivitas warga tersebut, dimungkinkan tidak adanya kurban itu karena memang keterbatasan pengetahuan, ekonomi dan sebagainya.
“Namun mungkin juga tidak adanya manajemen atau kelompok yang mengorganisir warga untuk bisa iuran atau mengumpulkan uang untuk kurban. Sehingga dalam waktu tiga tahun berturut-turut tidak ada kurban di sini. Anggapan jika telah kurban sekali, maka tak wajib lagi, ini juga bisa jadi pegangan,” jelasnya.
Beruntung berkat adanya program NUSAKU (Nusantara Berkurban) yang merupakan program dari NU Care Lazisnu, wilayah tersebut dalam waktu dua tahun terakhir telah tersentuh mendapatkan hewan kurban berupa kambing.
“Terimakasih pak, di sini warga jadi bisa menikmati daging kurban. Memang mungkin warga ada yang makan daging, tetapi suasana dan rasanya beda jika kita merasakan daging kurban,” kata Eko menirukan ucapan terimakasih dari warga setempat.
Rasa trenyuh muncul ketika sebuah pedukuhan kecil dengan musala kecil yang telah diwakafkan ke NU itu telah terbantu hewan kurban.
“Mohon diperjuangkan lagi Pak, untuk tahun depan kita bisa mendapatkan hewan kurban lagi,” kata salah satu tokoh setempat.
Mendengar itu, Eko menjawab dengan tersenyum. Bantuan hewan kurban dari program NUSAKU ini memang terbatas, satu kabupaten banya mendapatkan 1 sapi dan 2 ekor kambing. Itu menurut pengetahuan dan pengalamannya.
“Mas, mbok jangan musala itu-itu saja yang dikasih hewan kurban,” suatu hari seorang pengurus NU desa lain ‘nyeletuk’ sebelum penyerahan hewan kurban ke musala di pedukuhan itu dilaksanakan.
Sebagai pengurus LAZISNU, Eko yang dulu merupakan santri dari Pontren Al Hidayah Karangsuci Purwokerto itu merenung. Masukan dan permintaan terkait penyaluran hewan kurban ternyata masih sangat dibutuhkan oleh dusun-dusun dengan warga NU yang ‘belum berdaya’. Sementara ada wilayah dengan warga NU lainnya yang telah berlebih dengan hewan kurban.
Soal berkurban ini ternyata tak hanya soal kualitas saja, tetapi masih soal kuantitas. Pemerataan penyaluran hewan kurban masih diperlukan untuk wilayah-wilayah minus. Pengetahuan, kesadaran dan kemampuan untuk berkurban rupanya harus dibangkitkan bersama.
“Ini tugas siapa?” kata Eko bertanya. Namun kemudian ia tersenyum. “Tugas semuanya agar pengetahuan dan gerakan berkurban ini bisa sampai ke bawah, syukur-syukur bisa muncul dari bawah dan untuk semuanya,” jelasnya menjawab sendiri.***