Fiqih Tahlilan Menurut Ulama 4 Mazhab
Oleh: Drs. H. Mughni Labib, M.Si.
Dosen Fakultas Syariah UIN Saizu Purwokerto
Setiap malam Jumat, atau ketika seseorang baru saja meninggal dunia, kita sering melihat keluarga almarhum menggelar tahlilan. Suasana biasanya khidmat: lantunan Al-Qur’an, zikir, dan doa untuk mendiang mengalun bersahutan. Tapi, di balik itu semua, muncul pertanyaan yang tak jarang bikin bingung: “Apa betul pahala bacaan itu bisa sampai ke mayit?”
Tahlilan bukan sekadar kumpul-kumpul. Di dalamnya ada tiga praktik utama:
-
Menghadiahkan pahala bacaan dan zikir kepada orang yang sudah meninggal
-
Menentukan waktu tertentu untuk pelaksanaannya
-
Bersedekah atas nama orang yang telah wafat
Nah, bagaimana sebenarnya pandangan para ulama dari empat mazhab besar soal ini? Yuk, kita telusuri satu per satu.
Baca Juga : Khutbah Jumat: Refleksi Bulan Muharram
1. Apakah Pahala Bacaan Bisa Sampai ke Mayit? Mayoritas Ulama: Bisa!
Bagi kamu yang penasaran, jawabannya: ya, mayoritas ulama membolehkan hadiah pahala untuk orang yang sudah meninggal. Pendapat ini datang dari ulama mazhab Hanafi, Hanbali, sebagian besar Syafi’i, dan sebagian Maliki.
Misalnya:
-
Syekh Az-Zaila’i (Hanafi) menjelaskan dalam kitab Tabyinul Haqaiq bahwa pahala membaca Al-Qur’an, zikir, atau amal baik lain boleh dihadiahkan kepada orang lain, termasuk yang sudah wafat. Dan pahala itu sampai.
-
Ibnu Qudamah (Hanbali) juga sepakat. Dalam Al-Mughni, ia menegaskan: sedekah, doa, zikir, dan bacaan Qur’an yang diniatkan untuk mayit akan bermanfaat untuk mereka.
-
Bahkan ulama seperti Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa ikut mendukung: “Menghadiahkan pahala shalat, puasa, atau bacaan Al-Qur’an kepada mayit itu sah dan bermanfaat.”
-
Dari mazhab Syafi’i, Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menganjurkan peziarah kubur untuk membaca Al-Qur’an dan mendoakan mayit.
Namun, memang tak semua sepakat. Sebagian ulama Maliki dan Syafi’i lebih hati-hati, karena tidak menemukan dalil yang secara eksplisit menyebut bahwa pahala bacaan Qur’an sampai kepada mayit. Misalnya, Syekh Qarafi dan Ibnu Abi Jamrah berpendapat sebaliknya.
2. Bolehkan Tahlilan Dilakukan pada Hari-Hari Tertentu?
Jawabannya: boleh.
Tradisi tahlilan di hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, bahkan saat haul tahunan, itu sejatinya bagian dari uruf atau kebiasaan yang tumbuh di masyarakat. Dan itu tidak bertentangan dengan syariat.
Contohnya, dalam hadis riwayat Bukhari, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW biasa mengunjungi Masjid Quba setiap hari Sabtu. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, ini jadi bukti bahwa menentukan waktu khusus untuk ibadah itu diperbolehkan.
Imam Nawawi Banten dalam Nihayatuz Zain juga menjelaskan, tidak ada pembatasan waktu untuk sedekah. Tapi kalau masyarakat membiasakan bersedekah di hari ke-7 atau ke-40 kematian, itu termasuk bagian dari adat yang baik.
Bahkan, Imam Thawus Al-Yamani, seorang Tabi’in, menyebut bahwa karena mayit sedang menghadapi pertanyaan di alam kubur selama tujuh hari, para salaf dulu menganjurkan agar keluarga memberi makan orang-orang (bersedekah) selama periode itu.
Baca Juga : Khutbah Jumat: Tahun Baru Hijriah, Saatnya Evaluasi Diri dan Jauhi Narkoba
3. Bagaimana Hukum Bersedekah atas Nama Mayit? Ini Jawaban Nabi Sendiri
Kalau yang satu ini, seluruh ulama sepakat: bersedekah untuk orang yang sudah meninggal adalah amal yang sangat dianjurkan, dan pahalanya sampai.
Hadis sahih riwayat Muslim menceritakan bahwa seorang sahabat bertanya pada Nabi:
“Ibuku wafat tiba-tiba. Aku yakin kalau masih sempat bicara, ia pasti ingin bersedekah. Bolehkah aku bersedekah atas namanya?”
Jawab Nabi: “Ya.”
Ini jadi dalil kuat, dan ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim bahwa para ulama sepakat soal ini.
Kesimpulan: Tradisi yang Didukung Syariat
Dari penjelasan di atas, kita bisa menarik benang merah:
-
Menghadiahkan pahala bacaan dan doa kepada mayit dibolehkan oleh mayoritas ulama.
-
Mengadakan tahlilan di waktu tertentu seperti malam Jumat atau hari ke-7 dan ke-40 juga diperbolehkan.
-
Bersedekah atas nama mayit bukan hanya boleh, tapi sangat dianjurkan.
Jadi, tahlilan bukan sekadar tradisi turun-temurun. Ia punya akar yang kuat dalam fikih Islam, dan menjadi bentuk cinta terakhir kita pada orang yang telah pergi.
Namun demikian, jika ada yang berbeda pendapat, mari kita sikapi dengan bijak. Karena semuanya berangkat dari satu niat: ingin memberikan yang terbaik untuk yang sudah tiada. Wallahu A’lam.