Oleh : A`tina Fatha
Aku dan Ayah buru-buru kembali ke toilet untuk mengambil tasku. Dadaku terasa sesak ketika kulihat di dinding toilet tak ada lagi tasku tergantung di sana. Aku menangis, menyesal kenapa tadi tidak menitipkan tasku pada Ayah.
Aku merasa bersalah, karena disana juga ada uang Ayah yang tadinya akan digunakan untuk membeli laptop tapi oleh Ayah diberikan padaku untuk menambahi kekurangan uangku.
“Ya sudah, jangan menangis, kita ke ATM sebentar, Ayah tidak bawa uang kes.”
“Tapi itukan untuk beli laptop Ayah.” Aku tidak bisa membendung air mataku. Aku masih menyesal kenapa aku seceroboh itu.
“Biyan, niat Biyan untuk berqurban itu sangat mulia. Ayah sangat bangga pada Biyan, masih TK sudah punya semangat berqurban. Semangat menabung, sampai menyisihkan uang jajan. Biyan sudah menahan hawa napsu untuk jajan selama hampir setahun demi bisa berqurban. Ayah bangga, karena sebenarnya saat itu Biyan sudah melaksanakan qurban. Percayalah, Sayang, Alloh sudah mengatur rizki hambanya. Nanti ada saatnya Ayah untuk beli laptop yang baru.” kata-kata Ayah membuatku semakin bangga memiliki Ayah yang baik dan hebat.
Sampailah hari ini hari yang aku tunggu-tunggu. Hari raya Qurban yang sudah aku nantikan selama setahun. Meskipun pada akhirnya yang membeli kambing adalah Ayahku.
“Ayah, alhamdulillah, akhirnya Biyan jadi juga berqurban. Terima kasih, Ayah. Semoga kita sama-sama bisa lebih dekat dengan Alloh swt, aamiin.” kataku dalam hati sambil mengandeng erat tangan Ayah menuju ke masjid.
***