Oleh : A`tina Fatha
Sejak saat itu, aku jadi bersemangat untuk menabung supaya aku bisa berkurban satu ekor kambing. Setiap hari, aku menyisihkan uang jajanku untuk dimasukkan ke dalam celenganku. Sampai pada sebulan yang lalu, aku membuka celenganku.
“Gebrak!” uang berserakan di lantai.
Aku menghitungnya. Semua berjumlah Rp. 1.060.000,00.
“Satu ekor kambing harganya sekitar Rp. 1.600.000,00.” kata Ayah.
“Terus, kurangnya bagaimana, Ayah?” aku merajuk.
“Nanti pakai uang Ayah.”
“Tapi itu kan untuk beli laptop Ayah. Kan Laptop Ayah sudah rusak.”
“Nanti ada rejeki lagi InsyaAlloh.”
Esoknya aku dan Ayah pergi ke pasar hewan untuk membeli kambing.
“Uangnya ditaruh di tas Biyan, nanti Biyan yang bayar sendiri sama penjualnya. Biar mantap.” kata-kata Ayah membuatku senang.
“Ayah, tapi Biyan pipis dulu.” kataku sembari memainkan mataku dimana kira-kira ada toilet.
Setelah dari toilet aku dan Ayah menuju ke pedagang kambing. Kami memilih kambing yang gemuk dan bersih. Tentu saja yang sudah memenuhi syarat boleh untuk berqurban.
“Harganya Rp. 1.550.000,00” begitu kata Bapak yang jual kambing.
Aku hendak mengambil uangku di tas, lalu…
“Ayah, tas Biyan ketinggalan di toilet.” Aku hampir menangis karena menyesal kenapa tadi tidak menitipkan tasnya sama Ayah.
(bersambung ke: Bagian 3)