Sekolah, adalah bentuk paling konkret dari pengejawantahan cita-cita pendidikan.
Kebebasan dan kebahagiaan atau “merdeka belajar” meminjam istilah Kemendikbudristek sekarang, bisa diraih dengan sarana bernama sekolah.
Karena sekolah menjadi sarana mengasah nalar, menghaluskan budi pekerti, sehingga orang yang mempunyai keduanya, manusia modern dijanjikan kebahagiaan dan kebebasan itu.
Akan tetapi apa lacur, mimpi pencerahan pendidikan yang sangat indah dan mempesona itu secara fakta hanya sebatas mimpi saja bagi rakyat kecil kebanyakan.
Mendapat gelar dan bangga dengannya, memang bisa diberikan oleh sekolah, akan tetapi kelas sosial dan statusnya, secara umum mewarisi kelas sosial orangtuanya.
Kalau leluhurnya orang dengan kelas dan status sosial tinggi, begitu juga umumnya akan diwarisi penerusnya. Pun sebaliknya.
Pasalnya, mimpi pencerahan pendidikan ini sebenarnya mimpi para elit.
Mimpinya orang-orang yang secara ekonomi dan sosial sudah mapan.
Lihat saja tokoh-tokoh pendidikan kita yang sering kita kutip kata-katanya, mereka terpelajar karena anak para bangsawan yang bisa sekolah pada waktu itu.
Menghaluskan budi pekerti, melatih logika, mengasah nalar, meresapi makna hidup, adalah ungkapan filosofis yang abstrak. Istilah yang luhur, indah, namun mengatas galaksi.
Artinya, merdeka belajar atau kebebasan, kebahagiaan, mimpi pencerahan, aufklarung, renaissance, atau apa pun sebutannya itu, adalah ungkapan-ungkapan yang sangat bias kelas.
Ungkapan yang terlalu tinggi untuk menyentuh soal kesejahteraan, uang, dan apalagi kekayaan.
Baca juga:Â Islam Itu Menamai dan Memaknai Secara Benar
Bangsawan, dan para priyayi jarang bicara uang, jarang mempersoalkan uang, karena bagi mereka uang bukan persoalan.
Mereka sudah memilikinya. Yang mereka daraskan adalah gagasan tentang masa depan peradaban dunia, bangsa, dan kemanusiaan.
Janji Manis Pencerahan
Alih-alih mempunyai gagasan besar tentang peradaban dunia, bagi rakyat kebanyakan, sekolah adalah salah satu atau bahkan satu-satunya cara yang mungkin dan masuk akal untuk menaikkan kelas dan status sosial mereka.
Konkretnya, ya penguasaan terhadap harta benda. Rakyat ingin kaya.
Kemauan terbesar mereka adalah kaya, sejahtera, dan tidak mau miskin seperti hidup orangtuanya.
Akan tetapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, kemauan yang nyata dan riil seperti itu, terlalu blakasuta, dan dianggap terlalu terus terang.
Selain juga jarang sekali menjadi kenyataan!
Walhasil, janji-janji manis pencerahan pendidikan dengan mimpi-mimpi filosofis tentang pendidikan yang seringkali meninabobokan kita itu, adalah mimpi para elit, para bangsawan, dan priyayi yang kaya dan mapan baik secara ekonomi, maupun sosial.
Bukan mimpi kebanyakan rakyat kecil yang ingin sejahtera dengan pendidikan dan sekolah agar naik kelas untuk mengakhiri kemiskinan dan meraih kekayaan.
Sekolah bagi rakyat kebanyakan adalah sarana meraih cita-cita sejahtera, meski secara fakta bicara sebaliknya; bias belaka.
Penulis: Abdullah Mukti, Mahasiswa Prodi Hukum Syariah UNU Purwokerto.