AJIBARANG, nubanyumas.com – Di ujung senja, ketika bayangan pohon kelapa mulai melebar di tanah basah, terdengar suara anak-anak mengeja huruf demi huruf hijaiyah. Suara itu tidak datang dari masjid megah, bukan pula dari gedung madrasah bertingkat. Ia datang dari emperan rumah sederhana, rumah dengan dinding seadanya dan lantai semen yang dingin. Di situlah Kiai Maghfur duduk bersila, mengajar dengan wajah tenang dan suara lembut. Di situlah sebuah madrasah bernama Ishlahul Falah hidup dalam diam dan keikhlasan.
Emperan itu tak luas. Hanya cukup untuk belasan anak duduk rapat-rapat. Bila hujan datang, mereka akan bergeser ke dalam. Bila malam merayap lebih cepat, mereka belajar di bawah cahaya lampu neon kecil, atau kadang pelita minyak tanah. Namun tak satu pun yang mengeluh. Sebab di tempat itu, mereka belajar bukan hanya tentang huruf Arab atau kitab kuning, tetapi juga tentang sabar dan cinta.
Kiai Maghfur bukan orang terkenal. Ia bukan alumni universitas besar atau lulusan pesantren modern. Ia hanya lelaki kampung yang tiap pagi naik ke batang kelapa untuk nderes menyadap nira. Tangannya kasar, kakinya kapalan, tetapi hatinya lapang. Dari penghasilan itulah ia menghidupi keluarganya. Dari peluh itu pula ia menyekolahkan anak-anaknya ke pondok pesantren.
Namun yang paling mulia darinya bukanlah keberaniannya naik ke pucuk pohon kelapa, melainkan ketabahannya setiap sore membuka rumahnya untuk anak-anak desa yang ingin mengaji. Sejak 1991, ia melakukannya tanpa pamrih. Tanpa bayaran. Tanpa proposal. Dan tak ada satu pun dari anak-anak itu yang ia minta uang pendaftaran.
Baca Juga : Tiga Tahun Berturut-turut Musala NU di Pucuk Gunung itu Tak Pernah Ada Kurban
Bersama istrinya, Kiai Maghfur menghidupkan madin ini dalam keterbatasan. Atapnya dari genteng lama, lantainya semen, dan papan tulis kecil terpaku di dinding. Tetapi setiap menjelang senja, tempat ini penuh tawa. Penuh bacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Penuh harapan. Di situ, setiap anak mendapat tempat untuk belajar menjadi manusia.
Awalnya, ia tak peduli pada urusan surat-surat dan izin resmi. “Yang penting anak-anak ngaji,” katanya singkat. Namun waktu dan keadaan pelan-pelan bicara. Para pengurus NU di Desa Jingkang mulai menyarankan agar madrasah ini diurus secara legal, agar ia tak lenyap di hadapan aturan yang berubah.

Maka datanglah Miftahudin, pemuda kampung yang ditugaskan NU untuk membantu mengurus perizinan ke Kementerian Agama. Dan pada Rabu, 18 Juni 2025, para tamu dari Banyumas datang. Ada H. Faisal Reza dari PD Pontren, ada pula penyuluh agama, M. Shodiq Ma’mun. Mereka datang bukan sekadar memeriksa ruang, melainkan menyaksikan cinta yang telah bertahun-tahun dijaga di tempat itu.
Kiai Maghfur menyambut tamu-tamunya dengan baju koko putih yang sedikit memudar, sarung hitam sederhana, dan peci hitam yang tertata rapi di kepalanya. Ia minta maaf, “Maaf sambutannya begini saja. Rumah saya bukan aula pertemuan.” Namun tak seorang pun merasa kurang. Mereka tahu, di balik rumah ini tersimpan kekayaan yang tak bisa ditakar oleh akta atau meter persegi.
Kiai Maghfur tahu, dunia berubah. Tetapi ia tetap bertahan dengan caranya. Dengan diam yang bekerja. Dengan sabar yang tak banyak bicara. Kini, Ishlahul Falah telah terdaftar. Sebuah nama resmi untuk rumah kecil yang telah lama menjadi cahaya.
Di sore-sore yang akan datang, anak-anak itu akan tetap duduk di lantai. Membaca kitab. Menghafal ayat. Mencatat makna. Dan di sudut ruang, Kiai Maghfur akan tetap duduk bersila, dengan sabar menunggu mereka mengeja satu per satu kalam Tuhan.
Ia tidak tahu apakah suatu hari nanti ada anak didiknya yang akan menjadi tokoh besar. Tetapi ia percaya, setiap huruf yang mereka baca adalah benih. Dan benih itu, jika jatuh di hati yang baik, akan tumbuh menjadi pohon yang memberi teduh.
Seperti pohon kelapa yang ia panjat setiap pagi. Tegak di tempatnya, memberi air manis bagi siapa saja yang datang dengan tangan terbuka.
(Kifayatul Ahyar)
Tulisan ini didedikasikan bagi para guru ngaji dan kiai kampung, yang yang tak perah lelah terus mengajar meski dengan segala keterbatasan.