PADA malam ke-12 Bulan Ramadan 1445 H versi penetapan Nahdlatul Ulama, sekitar 30an warga jemaah Dusun Dawuhan Desa Kranggan Kecamatan Pekuncen, Banyumas itu melaksanakan Jamaah Salat Isya dan tarawih dan witir 23 rekaat di Masjid Az Zahra. Pukul 19.15 mereka memulai salat isya, tarawih dan witir.
Tiap dua rakaat tarawih mereka salam dan dibacakan salawat ke atas Nabi. Tiap empat rakaat dibacakan pujian dan doa kepada empat sahabat amirul mukminin.
“Amirul mu’miniina sayyidina ‘ali ‘ibn thalib tardlo’anhu” demikian bilal menyebut doa untuk Sahabat Ali yang ditunggu para jamaah karena itu menandai tarawih telah usai.
“Karomallohu wajhah,” demikian jawab para jamaah sebelum kemudian uluk salam dan salawat ke atas Nabi Muhammad sebanyak tiga kali terdengar.
Singkat kisah, salat witir 2+1 sebagiamana madzhab Syafi’i dilaksanakan mereka berdoa dan berniat puasa untuk menjaga agar tak lupa. Setelah itu mereka bersalawat sambil bersalaman kepada sesama jemaah.
Rampung jamaah tarawih dan witir sekitar pukul 19.45, para ibu di depan memasukkan medang dan lauknya. Ada kacang rebus, pisang kukus, pisang goreng, dan dukuh disajikan. Mereka saling duduk ‘jublegan’ sambil bercerita.
“Masjid Az Zahra ini dulu berawal dari langgar yang dibikin atas inisiasi Kiai Muhammad Basor. Namanya Al Falah, dan setelah ada gusuran jalan rel kereta api tahun 1990-an akhirnya kita mendapatkan kompensasi dibangunkan masjid.
Dulu kami minta ini tetap musala Al Falah, tetapi dari pihak PJKA (PT KAI, red) memang sudah menentukan kalau masjid yang dibangun PJKA di mana-mana itu namanya Az Zahra termasuk desainnya yang dulu semi terbuka,” kata Ustadz Suwarno yang menjadi imam salat.
Desain yang semi terbuka itu membuat lokasi masjid yang berada di desa ‘Kota Hujan’ ini sering tempias dan basah karena hujan angin masuk ke masjid. Akhirnya atas inisiatif warga, bagian bangunan dengan dinding lengkung terbuka itu ditutup dengan kusenan kayu kaca dan batu oleh warga hingga seperti sekarang.
“Memang di sini dinamai masjid, tetapi di sini tidak digunakan untuk Jumatan. Karena memang tak jauh dari sini sudah ada Masjid Jami’ Al Huda yang digunakan untuk Jumatan,” katanya.
Obrolan dengan imam masjid atau musala ini terus berlanjut, membahas cerita di jaman Orde Baru. Rupanya beliau merupakan aktivis partai ka’bah yang sering mendapatkan tantangan ketika mengadakan pengajian umum, meski bukan pengajian partai.
“Dulu mengadakan pengajian itu surat pemberitahuan harus ada empat, Polsek, Koramil, Kecamatan, Desa. Setiap penceramah harus punya kartu kuning (sebutan kartu tanda anggota Golkar). Anehnya semua penceramah ini sudah punya semua kartu kuning ini,” katanya tersenyum.
Ketika surat pemberitahuan lancar disampaikan ke Kecamatan, Desa dan Koramil, giliran surat pemberitahuan ke Polsek saat itu sempat terganjal.
“Katanya harusnya ijin bukan pemberitahuan. Saya debat waktu itu, pengajian saja dipersulit. Harusnya aparat bersyukur karena warga inisiatif mengadakan pengajian dengan biaya sendiri. Berterimakasih pada tokoh agama yang mendidik mental masyarakat tanpa gaji,” katanya.
Usai mendebat itulah, ia mendapatkan gebrakan meja dari sang polisi waktu itu.
Setelah pulang, ia bertemu dengan aktivis ormas lain yang juga rupanya memberikan pemberitahuan.
“Kamu tadi dilabrak ya. Lha wong kamu ga pengertian,” katanya pada Ustadz Suwarno. Tahulah Suwarno, ia tak melampirkan ‘amplop’ pelancar administrasi waktu itu.
“Ada cerita lagi, waktu itu adik saya baru pulang mondok dan memberi ceramah di pengajian masyarakat. Setelah itu ia dipanggil oleh polisi. Ia disidang, karena memberikan ceramah bercerita tentang kiamat, katanya itu bertentangan dan bisa melemahkan mental pembangunan yang sedang digagas pemerintah,” katanya.
Pembicaraanpun berlanjut dengan cerita Gus Dur yang datang ke Purwokerto yang membentu Forum Demokrat Kyai (FDK) dan mendapatkan tantangan dari penguasa regim. Cerita tentang ninja dan ancaman terhadap kiai pendukung demokrasi juga muncul.
Cerita itu berlalu cukup banyak. Tak terasa air teh dua gelas telah tandas hingga ke dasar gelas. Tetapi cerita demi cerita terus mengalir dan tentulah panjang ketika ditulis. Sayang tak terekam semuanya.
Pukul 20.30 telah tiba dan samar-samar lantunan Ayat Quran, dari anak-anak muda yang menderas dari Masjid Al Huda terdengar.
“Sebelum Gus Yaqut (Menang, red) lahir, di sini sudah begini. Sampai malam pula orang Baca Quran dan tidak ada yang memperotes dan merasa terganggu,” katanya menanggapi aturan tentang penggunaan pengeras suara di tempat ibadah khususnya selama Ramadan.
Ingatan seorang Suwarno mengelana ketika ia merantau di Jakarta.
“Mungkin kalau di Betawi aturan (penggunaan pengeras suara)itu pas, karena memang di situ tidak hanya ada Islam saja. Lagi pula saya pernah mendengar di mana ketika ramai Pilkada DKI, tempat ibadah malah justru jadi seperti tempat ajang kampanye yang begitu keras dan kasar menolak salah satu calon,” katanya memungkasi.
Ya demikianlah, aturan yang diberlakukan secara nasional memang diperlukan. Tetapi masyarakat dengan segala kearifan lokalnya juga lumrah dengan bijak menanggapinya. Termasuk oleh masyarakat Dusun Dawuhan yang wilayahnya terbelah oleh jalan rel kereta api Daop 5 Purwokerto itu.***