BEBERAPA waktu yang lalu penulis tertarik untuk menulis tentang Sekolah Minggon Keragaman (SMK) dan Forsa Interfaith Camp yang digelar oleh Forum Persaudaraan Lintas Iman (Forsa) Banyumas. Sebuah agenda pertemuan anak muda milenial lintas agama yang membuka ruang interaksi terbuka.
Kedua agenda itu menjadi ruang perjumpaan bagi mereka yang berbeda (liyan). Ruang perjumpaan yang menjadi sarana untuk mengenal perbedaan yang komplek untuk memperkecil prasangka dalam interaksi sosial.
Sekolah yang dirancang, bukanlah forum yang formal dan kaku. Forum didesain dengan pendekatan andragogi, Yusminar Yusri (2017) menyebutnya sebuah interaksi pembelajaran yang menggunakan pendekatan cara belajar orang dewasa.
Ciri dalam pendekatan ini, pola hubungan fasilitator dengan peserta bersifat timbal balik dan saling membantu, bersifat komunikasi dua arah atau multi arah seperti diskusi kelompok, simulasi, role playing, dan sejenisnya.
Fasilitator bertugas mengidentifikasi kebutuhan belajar peserta dengan membentuk kelompok kecil (small group). Kelompok kecil inilah yang menjadi ruang perjumpaan sebagai proses diskusi yang diarahkan untuk melakukan penemuan dan penyelesaian masalah (problem solving).
Dewasa ini, dalam catatan M. Husni Muadz (2017) ruang perjumpaan hanya dilihat sebagai sarana dan secara transitif mengartikan bahwa pelaku perjumpaan juga sebagai sarana atau alat. Sehingga secara tidak sadar kita telah memposisikan diri lebih rendah dari tujuan perjumpaan.
Hal ini mengakibatkan dominasi dalam kehidupan sosial yaitu terjadinya persaingan di semua level dengan pola relasi dominan yang terbangun adalah menang dan kalah. Akibatnya, ancaman perpecahan terjadi dimana-mana nyaris menjadi trend yang tak terbendungkan.
Untuk itu, kelompok diskusi sebagai ruang perjumpaan meniscayakan komunikasi yang inten dan akrab antarindividu yang berbeda.
Dalam konteks ini, ruang perjumpaan itu tidak sekadar alat pertemuan saja, namun lebih dari pada itu sebagai proses menciptakan pengalaman baru memahami yang berbeda.
Maka pendekatan pembelajaran dalam interaksi antarindividu yang berbeda di SMK dan Forsa Interfaith Camp sangat menentukan dalam mendinamisasi ruang perjumpaan bagi mereka yang berbeda. Ruang perjumpaan itu mengandung perbedaan agama dan budaya akan mengurangi sensitivitas yang selama ini muncul stigma yang memprasangka.
Upaya ini diharapkan mampu menghadirkan kesadaran kolektif, kesadaran akan luasnya keragaman yang dimiliki bangsa ini. Pendekatan andragogi sebagai wasilah yang menuntut partisipasi pembelajar berperan aktif dan dimanis.
Interaksi yang menghasilkan kesadaran kolektif menambah pengalaman empiris berbhinneka di ruang belajar. Pengalaman inilah diinternalisasikan pada pergaulan yang lebih luas dalam interaksi sosial yang lebih komplek dan plural.
Perbedaan dalam ruang perjumpaan menjadi cerita pengalaman menarik bagi setiap individu yang dapat melahirkan sikap dan budaya baru dalam pergaulan, memahami liyan diluar kedirian kita.
[…] Baca Juga : Rekonstruksi Ruang Perjumpaan Keragaman […]