“BIBAH seminggu lagi ya…,” ujar Abah Idrus Jumat siang itu kepada seorang perempuan yang tak lain adalah ibuku sendiri. Mendengar itu, ibuku hanya tersenyum dan mengangguk, meski sesungguhnya tak paham apa yang diutarakan sang abah.
Sesampai di rumah, ibuku bertanya padaku soal itu. Akupun hanya tersenyum saja. Justru aku menanyakan hal itu kepada ibuku. Ya di rumah memang hanya ada ibu, aku dan adikku karena Bapaku sendiri bekerja di sebuah pabrik gondorukem di Paninggaran, Pekalongan.
“Lha, ibu juga nggak ngerti apa yang dibicarakan Abah Idrus,” jawab ibuku sambil tersenyum. Akupun turut menjawab senyumnya. Dan sambil berlalu bertanya-tanya soal pernyataan dari pengasuh pesantren yang ada di lingkungan rumahku.
“Abah Idrus memang sering seperti itu,” kata Ibuku. Mendengar itu aku hanya mengangguk-angguk membenarkan. Apalagi sering pula kudengar kisah-kisah sang abah yang sering dianggap ganjil oleh sebagian orang, tetapi dianggap ajaib sebagian lainnya.
Barulah setelah seminggu kemudian, pernyataan Sang Abah itu menemukan momentumnya. Aku dan ibuku mendapatkan kabar dari bapakku usai pulang dari kantornya di Paninggaran Pekalongan.
“Bu, aku dapat surat pengangkatan dan pemindahan kembali,” kata Bapaku kepada
Ibuku.
“Ke mana Pak? ke Semarang, Wonosobo atau Cimanggu,” tanya ibuku sambil mendekat kepada Bapakku. Ya, ibuku memang agak cermat bertanya, karena tiga tahun lalu, suaminya baru saja dimutasi dari Brebes dekat rumahku. Sementara dalam kamus perusahaan, tepatnya kebiasaan mutasi, seorang pegawai mustahil akan dikembalikan lagi ke kantor pertama yang sama pernah ia bertugas.
“Ke Gondorukem Bu,” kata Bapakku.
“Hah, Gondorukem?” tanya ibuku keras dan menganga seperti sedang salah dengar.
“Ya, Gondorukem. Apa nggak mau suamimu ini menghabiskan masa kerja jelang
pensiun di dekat rumah,” kata bapakku yang tak kalah serius disertai senyum.
Mendengar itu, aku dan ibuku saling berpandangan dan tersenyum. Kami benar-benar sepemikiran soal kejadian seminggu lalu. Ya kejadian ketika usai sholat Jumat usai dan ibu dipanggil dan diberitahu Abah.
Dengan kejadian inilah, kami justru semakin timbul pertanyaan kembali soal itu. Dari mana Abah tahu, kenapa bisa Abah bisa tahu akan kejadian ini. Apakah Abah itu seorang…. Ah. Tapi pertanyaan itu tak aku lanjutkan lagi karena aku, ibu dan adikku telah larut dalam rasa syukur, Bapak dimutasi di tempat kerja lebih dekat dengan rumah bahkan sampai dengan pensiun.
Baca juga : Sekawanan Sriti itu Terbang Mengitari Kubah Masjid….
Dari bapak dan ibulah aku ketahui, kalau beberapa tahun sebelumnya, mereka sempat
sowan kepada Abah Idrus. Bapak berkeluh tentang lokasi kerja yang jauh dan kondisi fisik yang kian menurun karena faktor usia.
“Soal jabatan jangan terlalu dipikirkan. Kalau sudah saatnya pasti tiba, maka akan datang. Semua ada tempat dan waktunya masing-masing. Semua tak akan tertukar,” jelas Abah di hadapan bapak ibuku.
Bagaimana tidak resah, pada saat pengajuan promosi jabatan, bapakku telah memenuhi segala syarat ketentuan. Dari soal masa kerja, prestasi hingga umur, semua telah memenuhi syarat. Sementara seorang kawan kerja lainya, jauh belum memenuhi syarat, namun ternyata sudah diangkat terlebih dulu.
“Sabar, nanti sebentar lagi juga akan diangkat. Jangan khawatir,” begitulah jawab sang abah dengan senyum yang khas dan menenangkan.
Bagi sang abah, soal rejeki, pangkat, jodoh dan hal duniawi lainnya mungkin memang sudah khatam di dalam pemikiran dan laku hidupnya. Maka di matanya, perkataan dan lakunya, tak pernah terlihat sebuah kekhawatiran ataupun ketakutan. Zuhud dan wara mungkin kata yang tepat untuk mengungkapkan hal itu.
Benarlah setelah pertemuan itu, Bapakku mendapatkan promosi jabatan dan dimutasi
ke Paninggaran, Pekalongan. Sementara rekan seprofesinya yang diangkat terlebih dulu justru diangkat dan ditempatkan di Semarang. Ya, kalau di Semarang, tak bisa dibayangkan bagaimana lelahnya bapakku pulang pergi setiap minggu.
“Bersyukurlah ya Pak, meski diangkat belakangan namun lokasi penempatannya tak sejauh seperti yang diperkirakan bapak dan teman-teman Bapak. Tak bisa dibayangkan kalau bapak harus pulang setiap Sabtu habis magrib dan berangkat Senin sesudah subuh ke Semarang ataupun ke Wonosobo,” jelas ibuku.
Baca juga : Tentang Abah dan Pertanyaannya (2)
Dari peristiwa-peristiwa seputaran pekerjaan itulah, kami sekeluarga belajar soal bagaimana memahami masa depan, memetik hikmah peristiwa dan terutama adalah soal kesabaran. Bahwa di atas usaha dan doa, kepasrahan terhadap ketentuan Nya adalah yang utama. Tuhan selalu punya rencana yang indah kepada makhluk Nya.
Sejak itulah kami menjadi lebih sering untuk sowan kepada sang Abah. Bertukar pikiran dan ‘ngangsu kawruh urip‘ kepada guru thoriqoh tersebut hingga akhir hayatnya. Meski seringkali terlintas di benakku, kenapa sang abah sering mengutarakan sesuatu yang terdengar ganjil. Namun di kemudian hari keganjilan itu digenapkan dengan peristiwa yang tak disangka-sangka. Siapakah Abah itu, apakah Abah itu seorang…. Ah. Wallohu a’lam bishowab….
*Kisah ini diceritakan kembali dari kisah nyata tentang seputar kesaksian terhadap kehidupan al maghfurlah Habib Idrus bin Ja’far Al Habsyi, Pengasuh Ponpes Roudlotul Ilmi, Kranggan, Banyumas.