Oleh : Muhammad Arief Albani
Penasehat PW IKAPETE Papua
Memasuki usia 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada 2025, kita semua diajak untuk menoleh ke belakang, merenungi jejak langkah bangsa ini. Di antara sekian banyak elemen bangsa yang turut mengukir sejarah, Nahdlatul Ulama (NU) tampil sebagai rumah besar perjuangan—tempat di mana agama dan nasionalisme menyatu demi Indonesia yang bermartabat.
Bagi warga Nahdliyin, momentum ini adalah pengingat sekaligus peneguh kembali akan cita-cita besar yang diwariskan para pendiri NU. Bahwa agama dan kebangsaan bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan dua jalan yang bisa saling menguatkan demi kemaslahatan bersama. Seperti yang ditulis Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dalam *Mukadimah Qonun Asasi*, kekompakan dan persatuan adalah ruh utama dalam merawat negeri ini.
NU bukan sekadar organisasi keagamaan. Ia adalah denyut nadi yang menyatu dalam detak sejarah Indonesia. Sejak didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya oleh KH. Hasyim Asy’ari, NU telah menjadi benteng penjaga tradisi Islam Nusantara, sambil terus menjawab tantangan zaman. Di tengah arus globalisasi pemikiran, NU tetap tegak menjaga warisan moderatisme, toleransi, dan kearifan lokal.
Salah satu bukti nyata adalah peran NU dalam momen paling genting bangsa: masa revolusi kemerdekaan. Resolusi Jihad yang dicetuskan pada 22 Oktober 1945 bukanlah dokumen biasa. Ia adalah seruan jihad konstitusional yang mendorong umat Islam untuk membela kemerdekaan dari penjajah. Fatwa tersebut menggerakkan rakyat Surabaya dan sekitarnya untuk bertempur habis-habisan dalam peristiwa heroik 10 November—yang kini kita kenang sebagai Hari Pahlawan.
Tak berhenti di sana, NU juga mengorganisir laskar-laskar perjuangan seperti Hizbullah dan Sabilillah, berisi santri dan pemuda yang siap berkorban demi tanah air. Di sinilah kita melihat wajah santri tidak hanya sebagai penjaga kitab kuning, tetapi juga pembela tanah tumpah darah.
Pasca-kemerdekaan, kiprah NU tetap relevan. Dari partai politik hingga keputusan monumental kembali ke *Khittah 1926*, NU memilih jalur dakwah dan sosial kemasyarakatan sebagai jalan pengabdiannya. Bukan berarti apolitis, tapi NU justru ingin tetap berada di atas kepentingan jangka pendek, dengan tetap mengawal pilar kebangsaan: Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden keempat RI sekaligus tokoh NU, adalah gambaran konkret bagaimana pesantren bisa melahirkan pemimpin yang pluralis, inklusif, dan demokratis. Gus Dur mengingatkan kita, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”
Hari ini, NU terus bergerak. Melalui pesantren, madrasah, kampus, hingga organisasi sayapnya seperti GP Ansor dan Fatayat, NU melahirkan generasi baru yang berakhlak, berilmu, dan sadar akan tanggung jawab kebangsaan. Mereka mengisi ruang-ruang strategis di berbagai sektor dengan membawa nilai-nilai moderat dan inklusif.
Maka dalam usia 80 tahun kemerdekaan ini, kita tak hanya bersyukur telah merdeka, tapi juga wajib menjaga rumah besar bernama Indonesia. NU telah menunjukkan bahwa kekuatan spiritual dapat menjadi pondasi kokoh bagi perubahan sosial dan politik. Dan sebagai Nahdliyin—sebagai anak bangsa—kita pun diajak melanjutkan estafet pengabdian itu: menjaga persatuan, memperkuat toleransi, dan memajukan negeri.
Referensi :
- Anam, Choirul. (1985). Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama. Surabaya: Balai Buku. (Sumber kutipan Resolusi Jihad).
- Wahid, Abdurrahman. (Kutipan populer Gus Dur yang tersebar luas di berbagai sumber, termasuk buku-buku biografi dan artikel).
- Siddiq, KH. Achmad. (1984). Khittah Nahdlatul Ulama: Pemikiran dan Pandangan KH. Achmad Siddiq. (Kutipan Khittah).
- Azyumardi Azra. (2006). Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: Rajawali Pers. (Membahas konteks historis dan pemikiran keagamaan di Indonesia).
- Madjiah, M. Darwis. (2012). NU dan Bangsa: Menelusuri Jejak Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Pustaka Ciganjur.