Telah kembali manusia ke dalam fitrahnya. Telah lahir kembali muslim taat seperti bayi yang baru dilahirkan dan bersih dari segala dosa. Capaian utama dalam penahanan sebulan ini adalah takwa. Lantas apa makna takwa?
Dalam Kamus Istilah Keagamaan, takwa yaitu menjalin hubungan yang hangat antara manusia dengan Tuhan, dan juga menjalin hubungan yang hangat dengan sesama manusia. Pokok dari makna ini adalah keseimbangan hubungan hablummninallah dan hablumminannas.
Sikap yang bisa kita unduh usai Ramadan adalah dengan menjalin kehidupan hangat baik dengan Allah maupun manusia. Namun sebagian muslim mungkin tidak hilang sifat asalnya yang buruk. Di bawah ini ada sedikit penggalan kisah dan riwayat yang mungkin bisa menggambarkan mengenai hal tersebut.
Dalam suatu ceramah oleh seorang Dai, dijelaskan mengenai perbedaan kita dengan ulama salaf tentang menyikapi perginya Ramadan dan datangnya Hari Kemenangan. Ulama salaf dahulu menangis kala Ramadan akan berakhir. Mereka takut ini adalah Ramadan terakhir yang mereka rasakan.
Sungguh sedih mereka kala berpisah dengan bulan Ramadan. Akan tetapi kita sebaliknya. Kita justru senang dengan datangnya Idul Fitri dan bahagia kala meninggalkan bulan Ramadan. Padahal hari raya Idul Fitri adalah milik mereka yang lulus dan menang terhadap belenggu hawa nafsunya kala Ramadan. Jadi hari itu bukanlah hari milik mereka yang masih terkungkung hawa nafsu sampai berakhirnya Ramadan dan datangnya Hari Kemenangan.
Mengenai kepemilikan Hari Kemenangan, ada cerita lain yang menarik. Kisah ini tertera dalam buku yang berjudul 30 Kisah Teladan karya Abdurrahman Arroisi. Meskipun bukunya kecil dan agak tipis, tapi dalam buku ini memuat banyak pesan moral yang tidak bisa kita abaikan begitu saja.
Zaman dahulu di Timur Tengah, ada seorang Amir (pemimpin wilayah) melarang keras para pelacur untuk ikut shalat Ied dan merayakan hari raya Idul Fitri. Sang Amir membuat peraturan ini karena pada dasarnya pelacur itu kotor dan penuh dosa. Sehingga tidak layak mereka merayakan hari yang sakral dalam agama seperti Idul Fitri.
Setelah itu, ada ulama yang mau berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat Ied dan beliau melewati perkampungan pelacur tersebut. Sampai di depan rumah para pelacur, beliau bingung melihat para pelacur masih berkumpul di dalam rumah yang mana hari sudah menjelang siang.
Beliau kemudian bertanya kepada para pelacur, “Kenapa kalian masih di rumah? Sedangkan waktu shalat Ied di masjid akan segera dimulai”. Mereka menjawab, “Wahai Syekh, kami tidak diperbolehkan oleh Amir untuk mengikuti shalat Ied dan merayakannya”. Sang Ulama membalas, “Hari raya ini adalah hari milik semua umat muslim, bukan saja harinya Amir. Sekarang ikutlah aku shalat Ied ke masjid. Biar nanti Amir, saya yang hadapi”
Dengan langkah ragu, para pelacur berangkat ke Masjid untuk ikut serta merayakan Hari Kemenangan dan Salat Ied. Setibanya di Masjid, Amir langsung terperanjat dan agak tersinggung kala melihat para pelacur itu. Namun Amir menahan amarahnya sampai salat Ied selesai.
Usai menunaikan salat Ied, Amir langsung menemui para pelacur tadi namun dihalangi oleh seorang Syekh. Lantaran tahu para pelacur akan dimarahi, Sang Syekh kemudian langsung menegur balik Amir.
“Wahai Syekh, para pelacur ini kotor dan tidak pantas merayakan Hari Kemenangan. Lantas mengapa engkau justru membiarkan mereka masuk ke dalam masjid yang suci ini?” Tanya Amir kepada Syekh. Mata Amir tak bisa bertahan lama kala menatap Syekh. Aura kewalian dari seorang Syekh tersebut sangat kuat sehingga sebelum Syekh menjawab pun Amir sudah mendapat getaran hebat dalam batin dan jiwanya.
“Wahai Amir, tidakkah mereka juga seorang muslim? …” Jawaban seorang Syekh ini terpotong karena ucapan Amir tiba-tiba dengan tangis yang hampir tidak terdengar. “Cukup Syekh. Saya sudah tahu dan paham. Menatapmu saja membuat saya gemetar wahai Syekh. Saya yakin apa yang engkau perbuat adalah kebenaran.”
Sang Amir undur diri dengan merasa malu dan haru. Sang Amir berpikir bahwa, bahkan wibawa seorang wali itu bisa mengalahkan kekuatan yang dimiliki oleh penguasa wilayah.
Dari kisah ini, tentu sudah dapat kita petik hikmah dibaliknya. Hawa nafsu memang harus ditundukkan. Bukalah hati dan jiwa selebar-lebarnya untuk setiap kebaikan yang datang, terlebih saat tibanya Hari Kemenangan. Mari kita jalin hubungan hangat dengan Tuhan dan juga manusia. Tidakkah kita juga ingin mencapai tingkat takwa seperti yang telah disebut di atas? (*)