Sambil menunggu antrean panjang pembayaran pajak kendaraan bermotor di halaman kantor kecamatan, aku seorang wajib pajak menyapa temanku yang juga menunggu. Kebetulan sang teman merupakan guru ngaji antar masjid di kampungku tempat kulahir dan dewasa.
Di samping temanku yang guru ngaji itu juga berdiri seorang bapak tanpa peci, tetapi memakai batik dan sandal jepit ‘buluk’. Rambutnya agak ikal namun tak disisir dan kulit sawo matangnya terlihat jelas.
“Sudah TK apa sekolah?” tanyaku kepada temanku yang guru ngaji itu yang kebetulan mengajak anaknya lelaki yang masih kecil.
“Sudah kelas I MI,” jawab temanku yang guru ngaji yang menyekolahkan anaknya di MI yang terletak di desa tetangga.
“Berarti nanti Arabe pinter ya Mas? Mrepal maca Qurane? Bar MI nanti masuk SD ya, tambah pinter,” tanya seorang bapak tanpa peci itu menyambung.
Saya diam sejenak dan saling bertatap pandang. Dari pertanyaan itu sepintas kemudian saya berpikiran soal bapak tak berpeci itu. Ternyata sampai saat ini masih ada orang yang belum tahu perbedaan MI dan SD.
Kamipun akhirnya larut bercakap berbagai hal mulai dari tentang pekerjaan, jumlah anak, dan sebagainya.
Tiba gilirannya temanku dipanggil petugas pajak dari mobil samsat keliling. Saat itulah kami berdua, aku dan bapak tak berpeci itu berbincang.
Meluncur soal nama orang yang dari tempat tinggalku yang menjadi menantu kerabatnya.
“Sayalah yang menerima pengantin laki-laki datang ke kerabat saya waktu pernikahan kemarin,” katanya.
Mendengar itupun saya mengangguk. Tetapi anggukanku sebenarnya tak mantap, karena nama pengantin yang disebut olehnyapun saya tak kenal.
Namun telisik punya telisik ternyata bapak tak berpeci itu adalah jamaah dari salah satu kiai kampung yang ramai diundang di berbagai pengajian di Banyumas Raya.
Iapun dekat dengan sang kiai muda itu dan sering pula akrab bercakap dengan sang kiai.
“Kiai sedang bikin aula cukup luas di samping rumahnya. Berapa ribu orang bisa muat di situ. Beberapa waktu lalu saat ada pengajian thoriqoh juga datang banyak sekali jamaah tapi muat,” katanya.
Kiai itu kata bapak tak berpeci itu sudah mendapatkan semuanya, ilmu, pangkat dan harta. Bisa dibilang sempurna terutama bagi jamaahnya.
Apalagi sang kiai merupakan orang pinter pandai ceramah, laris full jadwal ceramah, PNS hingga sawahnya luas pula. Bahkan sang kiai muda pembimbingnya itu tak pernah lihat sawah tetapi tahu-tahu sudah jadi uang hasil panen.
“Lha rika arep milih apa Kang (Lha kamu pilih apa Kang)?” katanya menirukan sang kiai menawarkan apa yang diperolehnya.
“Wah, sulit Pak Kiai. Bagaimana saya belajar sudah tua, menghafal pun sering lupa. Yang penting saya bisa ikut njenengan sama Mbah Kiai,” katanya polos.
“Ini berkat pendongane njenengan dan jamaah semua,” kata sang kiai muda yang diam-diam kata bapak tak berpeci itu sudah punya sawah luas di tempat ia pernah mondhok dulu.
“Lha sekarang muncul orang macam-macam ya Mas. Apa-apa amalan tidak diperbolehkan. Padahal dulu adanya cuma ada dua yaitu lebaran awal dan lebaran akhir. Itupun sekarang semakin jarang,” katanya yang kujuawab dengan senyum.
Dari pembicaraan lebih jauh ternyata ia sudah baiat tarekat sejak 2008 kepada salah seorang guru tarekat kondang di Banyumas. Iapun selalu rutin mengikuti tawajuhan tiap malam Selasa Kliwon di rumah badal tarekat yang tak lain kiai muda itu.
“Rabu Manisnya mulai pukul 09.00 biasanya kita sudah ada di rumah Romo Kiai untuk membaca wirid bersama ratusan jamaah toriqoh lainnya. Ada yang rutin, tapi ada yang cuma baiat saja,” jelasnya.
Mendengar itu aku termenung dan tersenyum. Kubayangkan bapak yang tak berpeci itu pulang dan berganti sarung dan memakai peci yang telah mengelupas warna pecinya. Namun mereka semangat antre menunggu mobil bak terbuka bersama puluhan bapak-bapak yang berbusana serupa.
Ya tiap Rabu Manis, beberapa mobil bak terbuka itu membawa mereka untuk bersilaturahmi dengan sang guru sufinya. Berwirid bersama dalam satu tujuan bernama penghambaan kepada yang Maha Tahu.
Di dalam majelis itulah semua bersatu, semua sama tak peduli mereka mengetahui perbedaan SD atau MI ataupun lainnya. Semoga kita bertemu lagi di majelis yang berbahagia. Tabik dan sehat selalu bapak tak berpeci. Terimakasih untuk pelajaran hari ini. **