Judul buku : Al Quran dan Realitas Umat
Penulis : Ahmad Syafii Maarif
Penerbit : Republika, Jakarta
Tahun terbit : 2010
Jumlah halaman : viii + 218 halaman
Al Quran mengajarkan dan meramu cara membentuk satu peradaban yang ideal, di samping pembelajaran historis tentang peradaban masa lalu. Di abad modern ini, nampaknya kehidupan umat justru semakin jauh dari nilai yang dibawa Al Quran. Maka semakin jauh pula cita-cita peradaban ideal menurut Al Quran. Mengapa demikian? Bagaimana jalan keluar dari permasalahan ini?
Buku Al Quran dan Realitas Umat ini akan menjawab dan menjelaskan duduk perkara hal tersebut. Buku ini ditulis oleh Ahmad Syafii Maarif yang kerap disapa dengan panggilan “Buya Syafii”. Dilansir dari muhammadiyah.or.id, beliau lahir di Minangkabau pada 31 Mei 1935 dan wafat pada 27 Mei 2022. Pernah menjabat sebagai ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1998-2005.
Hidup dengan latar belakang agamis, membentuk pribadinya menjadi seorang yang religius. Riwayat pendidikannya linear dengan agama dan keislaman, dari tingkat SD, hingga pendidikan tingginya. Studi lanjutnya tidak hanya di Indonesia, tapi juga pernah mengenyam pendidikan di Universitas Ohio dan Chicago Amerika Serikat. Riwayat inilah yang membentuk pemikiran Buya Syafii menjadi luas dan inklusif.
Buku ini berisi kumpulan tulisan dari Buya Syafii yang sebelumnya tercecer di berbagai media. Artikel-artikel tersebut disusun sesuai dengan dua kategorisasi, yaitu al quran dan peradaban, serta nukilan-nukilan kehidupan berbagai tokoh lokal, nasional, hingga global. Opini dan komentar Buya Syafii atas berbagai problem umat Islam dan peradaban dunia, sangat dominan dalam buku ini.
Cita-cita sosial Al Quran
Risalah yang Nabi Muhammad Saw. bawa melalui Al Quran, yaitu untuk memberikan rahmat bagi alam semesta, tidak saja hanya untuk Muslim. Ini yang menjadi dasar utama dalam membentuk peradaban ideal di dunia. Jika saja umat Islam bisa memaknai Al Quran dengan sebenar-benarnya, pastilah peradaban akan memperoleh kejayaannya.
Namun realita yang terjadi justru umat semakin terpolarisasi, merasa kelompoknya paling benar, dan menganggap sesat kelompok lainnya. Salah satu sebabnya adalah semakin jauhnya umat dari ajaran Al Quran. Bahkan sebagian dari kelompok ini, menggunakan cara-cara kejam untuk mencapai visi politik mereka dengan mengatasnamakan Islam.
Salah satu pembentuk peradaban adalah politik. Di bidang politik, Buya meyakini, dengan sistem syura (permusyawaratan/demokrasi), kehidupan politik di berbagai negara akan lebih baik. Pasalnya, setelah Nabi wafat, khulafaur rasyidin memimpin dengan cara-cara demokratis. Sistem syura ini diyakini Buya berasal juga dari Al Quran.
Setelah empat khalifah turun takhta, kekuasaan beralih ke Dinasti Umayah. Dinasti ini sama sekali bukanlah pengganti dari kekhalifahan sebelumnya. Dinasti ini justru lahir karena ambisi pribadi keluarga Muawiyah, terbukti dengan dibentuknya sistem monarki heridetis, bukan syura. Dari dinasti Umayah, Abbasiyah, dan imperium Islam lainnya, belumlah mencerminkan landasan Al Quran dalam kehidupan politik mereka.
Terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, khalifah terakhir, juga memiliki dampak serius terhadap peradaban Islam. Pasalnya, kaum Khawarij, kaum pembenci Ali ini yang melahirkan bibit-bibit terorisme baru di kehidupan setelahnya. Tersebutlah pasukan Taliban, munculnya Usamah bin Ladin, peristiwa Bom Bali di Indonesia, peristiwa 9/11 di Amerika, dan masih banyak lainnya.
Dengan riwayat kekejaman yang mengatasnamakan Islam ini, semakin membawa wajah Islam menjadi menyeramkan di mata dunia. Menurut Buya Syafii, kelompok teroris ini merupakan korban dari Perang Dunia II. Amerika memainkan peranan penting dalam perlawanan di Afganistan untuk mengusir bala pasukan Uni Soviet. Amerika kemudian menuai tulahnya sendiri atas perbuatannya tersebut. Buya Syafii menamai kondisi seperti ini sebagai “Buritan Peradaban”.
Solusi untuk keluar dari berbagai permasalahan ini, selain mengacu pada Al Quran, Buya juga menyepakati peta jalan peradaban yang disusun oleh intelektual Khaled Abou El Fadl. Konsep Islam moderatlah, yang cocok diterapkan oleh Muslim dunia dalam menjawab tantangan zaman dan peradaban modern ini. Islam yang ramah, damai, sejuk, terbuka namun tetap kritis, dan tentunya sesuai konsep rahmatan lil alamin.
Membaca Ayat Allah melalui Ciptaan-Nya
Buya Syafii mencoba membaca ayat Allah melalui manusia dan kehidupannya. Sebab, roda kehidupan di dunia yang menjalankannya adalah manusia. Dalam buku ini, setidaknya ada tiga kategori tokoh berdasarkan tingkat kepopulerannya, yaitu lokal, nasional, dan global.
Tugimin, Suparmin, Asrori, mewakili masyarakat bawah di tataran lokal, Yogyakarta, tempat tinggal Buya Syafii Maarif. Ketiga orang tersebut merupakan pekerja harian dengan pendapatan yang tidak seberapa namun penuh dengan perjuangan. Buya Syafii meneledani mereka dari sikap tabah, sabar, tawakal, dan qanaah. Inilah ayat Allah yang dititipkan kepada mereka.
Ajip Rosidi, Rosihan Anwar, Rendra, dan lainnya, merupakan tokoh nasional di bidang bahasa, budaya, dan karakter bangsa. Tokoh-tokoh tersebut memiliki kontribusi besar pada bangsa Indonesia, meskipun kontribusi mereka kadang tidak terlalu dihargai oleh pemerintahnya sendiri. Buya Syafii sangat memprihatinkan perihal ketidaklayakan hidup seorang seniman dan budayawan di Indonesia. Jangan disetarakan dengan negara Barat, bahkan dengan negara tetangga sendiri pun, Indonesia berbanding jauh dalam menghargai kerja-kerja budayawan dan seniman.
Tokoh nasional dalam bidang agama juga turut menjadi perhatian Buya Syafii, seperti Buya Hamka dan Syekh Djambek. Kedua tokoh ini menurut Buya Syafii, punya andil besar dalam dakwah Islam di Indonesia dengan pembawaan yang damai serta dengan narasi pembaruan Islam. Buya Syafii rindu terhadap kemuncullan tokoh-tokoh agama seperti mereka.
Dalam kancah global, di buku ini Buya Syafii memetik kisah dari banyak tokoh seperti Benazir Bhutto, Khatami, Imad Fayez Mughniyah, Jimmy Carter, George W. Bush, dan masih banyak lainnya. Masing-masing tokoh ini memiliki penilaian sendiri dalam kacamata Buya Syafii.
Tiga tokoh pertama di atas punya pemikiran jitu dalam menjawab aneka masalah umat Islam dan peradabannya di masa kini. Akan tetapi ada halangan yang membuat mereka sulit menebus cita mulianya. Ini disebabkan oleh pihak internal (dari negara mereka sendiri) dan juga dari asing, utamanya Amerika Serikat.
Buya Syafii sangat vokal dalam mengutuk kebiadaban Amerika Serikat di bawah pimpinan George W. Bush. Pasalnya Bush menjalankan politik neoimperalisme di beberapa negara seperti Irak dan Iran. Amerika turut campur atau mengintervensi dan menginvasi negara-negara tersebut untuk kepentingan minyak dan politik kotor.
Fanatisme kaum neokonservatif Amerika juga turut mempengaruhi pemikiran mereka dalam menjalankan politik kotor tersebut. Tidak semestinya, kata Buya Syafii, penginjil Amerika berpikiran picik seperti itu. Anehnya lagi, Bush menuduh Irak “semau gue”—istilah dari Buya Syafii, karena memiliki senjata pemusnah masal, tapi tidak demikian ke negara Israel yang justru nyata punya.
Pemikiran dan laku demikian, tidaklah menggambarkan manusia modern yang katanya menjunjung tinggi kemanusiaan dan keberadaban. Kepemimpinan Amerika di bawah Bush, sangat terbalik dengan Amerika di bawah pimpinan Jimmy Carter.
Carter memiliki misi perdamaian, bahkan memiliki pandangan yang berbeda dari kawan birokratnya mengenai Israel dan Palestina. Hal ini yang menyebabkan beberapa pejabat mundur dari kabinetnya Carter. Namun Carter tidak terlalu acuh terhadap keadaan tersebut. Berkat pemikiranya inilah, Carter di tahun 2002 mendapat penghargaan Nobel bidang Perdamaian.
Harapan Buya Syafii
Dari buku ini, dapat dibaca arah masa depan yang dicitakan oleh Buya Syafii Maarif. Sebutlah perdamaian dunia, pribadi dan bangsa yang berkarakter, generasi qurani (tidak sebatas hafal, tapi juga mampu memahami), toleransi dalam keberagaman, kesejahteraan rakyat, humanisme, dan masih banyak yang lainnya. Tidaklah berbeda dari cita kawan sejawatnya seperti Nurcholish Majid, Gus Dur, dan tokoh agama terkemuka lainnya.
Tapi muara itu semua ada pada peradaban yang rahmatan lil alamin sesuai Al Quran. Kejayaan yang tidak saja dimiliki oleh umat Islam, tapi melingkupi seluruh alam semesta ini. Buya Syafii sangat yakin bahwa cita ini bisa diwujudkan, meskipun lama dan butuh perjuangan. Buya menggelorakan semangat optimisme. Ini semata-mata karena Al Quran mengajarkan rasa optimisme dalam setiap keadaan.
Dengan membaca buku ini, maka kita merayakan pemikiran-pemikiran Buya Syafii dari periode tertentu. Buya Syafii sudah mendahului kita, namun kita masih tetap bisa menghidupkannya dengan cara membaca karyanya, serta turut mewujudkan cita mulia Buya Syafii sesuai dengan kemampuan kita.
Kekurangan buku ini yaitu tidak adanya keterangan waktu terbit artikel, sehingga menyulitkan pembaca dalam membaca relevansi pemikiran dan tulisan Buya Syafii. Meraba waktu seperti ini, jelas bisa menimbulkan kesalahpahaman, sekalipun tidak seberapa, namun bisa fatal.