ISLAM adalah agama yang bersifat universal. Universalisme Islam selalu berkaitan dalam dua dimensi yang berbeda yaitu vertikal dan horizontal. Dalam dimensi vertikal manusia dituntut untuk melaksanakan sejumlah ibadah sebagai bentuk penghambaan dan ketundukan kepada Allah Swt.
Di sisi lain, dalam dimensi horizontal, keberadaan manusia sebagai makhluk hidup menuntutnya untuk memperhatikan hubungannya dengan manusia yang lain untuk membangun keharmonisan sesama manusia. Terlebih jika manusia lain tersebut adalah saudara atau kerabat dekat sendiri, keharmonisan antara kerabat dekat, lebih ditekankan di dalam Islam daripada kepada yang lain.
Salah satu instrumen paling efektif untuk menciptakan keharmonisan di antara sesama umat manusia khususnya antar sesama kerabat dekat adalah silaturahmi. Silaturahmi adalah instrumen keakraban dan persaudaraan. Melalui silaturahmi, antar sesama manusia dapat meminimalisir terjadinya kerenggangan hingga perpecahan.
Dalam satu kesempatan, Rasul Saw. bahkan menggambarkan bahwa silaturahmi merupakan amalan yang dapat mendekatkan seseorang ke dalam surga dan menjauhkanya dari neraka. Hal itu sebagaimana dikisahkan oleh Imam Abu Laits al-Hanafi al-Samaraqandi dalam “Tanbih al-Ghafilin” :
Suatu hari ada seorang Arab Badui datang menemui Rasulullah Saw.
Ia bertanya, “Wahai Rasulullah tunjukanlah aku suatu amalan yang dapat mendekatkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka ?”.
Rasul pun menjawab, “Hendaknya engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, engkau dirikan shalat, engkau tunaikan zakat dan engkau menyambung tali silaturahmi”. (Abu Laits al-Hanafi al-Samaraqandi, Tanbih al-Ghafilin, Dar Ibn Katsir, Damaskus, Cet. 3, Hlm. 133)
Makna Silaturahmi
Ibnu Atsir, sebagaimana dijelaskan dalam “Silatu al-Arham Mafhum wa Fadhail wa Adab wa Ahkam fi Dhaui al-Kitab wa al-Sunnah”, mengungkapkan :
“Silaturahmi merupakan ungkapan kinayah yang maksudnya adalah berbuat baik dan berlemah lembut kepada kerabat dekat baik itu kerabat melalui nasab maupun melalui perkawinan. Selain itu juga memperhatikan keadaan mereka meskipun mereka jauh atau berlaku buruk kepada kita. Sedangkan makna memutus silaturahmi adalah melakukan tindakan yang menyelisihi hal-hal tersebut”. (Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Silatu al-Arham Mafhum wa Fadhail wa Adab wa Ahkam fi Dhaui al-Kitab wa al-Sunnah, Hlm. 5)
Masih dalam buku yang sama, silaturahmi secara istilah dapat diartikan sebagai berbuat baik kepada kerabat dekat sesuai dengan keadaan al-washil (yang menyambung) dan al-maushul (yang disambung); ada kalanya dengan bentuk uang, ada kalanya dengan bentuk bantuan, ada kalanya dengan berkunjung (ziarah), ada kalanya dengan mengucapkan salam dan lain sebagainya.
Alhasil, silaturahmi merupakan amal perbuatan yang memiliki kedudukan tinggi di dalam Islam. Silaturahmi tak semata-mata dimaknai dengan kegiatan saling kunjung antar sesama kerabat. Silaturahmi juga bukan berbuat baik kepada orang lain sementara di saat yang sama justru menafikan kerabat dekat sendiri.
Silaturahmi adalah simbol fanatisme kekeluargaan yang terpuji sekaligus dilegitimasi oleh syariat.
Betapa agungnya amalan silaturahmi, Rasul Saw. sampai menyatakan agar orang-orang yang memutus tali silaturahmi untuk berdiri dari majelis-nya dan pergi menjauhinya. Hal itu sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu Lais al-Hanafi al-Samaraqandi dalam “Tanbih al-Ghafilin” sebagai berikut :
Abdullah bin Abi Aufa menceritakan, “Kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah pada suatu sore di Padang Arafah. Tiba-tiba Rasul berkata, ‘Jangan duduk bersama kami orang yang pada sore ini telah memutus tali silaturahmi. Siapapun yang telah memutus tali silaturahmi hendaknya ia segera berdiri’.
Mendengar itu, tidak ada seorang pun yang berdiri kecuali seseorang yang duduk di pojok majelis. Ia berdiri dan berjalan mendekati Rasul.
Rasul bertanya,’ Apa yang membuatmu berdiri ?’
‘Wahai Nabi Allah, aku telah mendengar apa yang engkau sampaikan, hingga aku datang menemui bibiku yang selama ini telah memutus tali silaturahmi denganku.’
Bibiku bertanya, ‘Apa yang membuatmu datang menemuiku ?’
‘Maka aku sampaikan apa yang aku dengar darimu hingga ia memohonkan ampun untuku dan aku pun memohonkan ampun untuknya.’
Mendengar penjelasan laki-laki tersebut Rasulullah Saw. berkata, ‘Engkau telah berlaku baik. Sekarang duduklah, ketauhilah bahwa rahmat tidak akan turun kepada suatu kaum yang di dalamnya ada orang yang memutus tali silaturahmi’.
Mengomentari hadis di atas, Imam Abu Lais menjelaskan :
“Dalam hadis di atas terdapat petunjuk bahwa memutus tali silaturahmi merupakan dosa yang teramat besar. Sebab, memutus tali silaturahmi dapat mencegah datangnya rahmat bagi pelakunya dan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Maka, wajib hukumnya bagi seorang muslim untuk bertaubat dari perilaku memutus tali silaturahmi, memohon ampun kepada Allah, dan menyambung kembali tali silaturahmi yang telah ia putus”. (Abu Laits al-Hanafi al-Samaraqandi, Tanbih al-Ghafilin, Dar Ibn Katsir, Damaskus, Cet. 3, Hlm. 133-134)
*)Mahasiswa Prodi Hukum Syariah Universitas Nahdlatul Ulama Purwokerto
Minat Kajian : Fikih, Akhlak-Tasauf, Sejarah Peradaban Islam