Sastrawan dan budayawan Banyumas Ahmad Tohari menjelaskan salah satu alasanya mengapa dia menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk. Dan alasanya adalah karena dia termasuk orang NU sehingga berani menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk.
“Justru karena saya NU, saya menulis Ronggeng Dukuh Paruk,” tegas Ahmad Tohari dalam acara Haul ke 12 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang digelar oleh GMNU Ajibarang di Zona Nglinting Kamis,(30/12/2021) kemarin.
Ahmad Tohari menjelaskan jika ia sejak kecil selalu diajak untuk ikut tahlilan dan membaca ayat Al Quran yang berbunyi “lahuma fissamawati wama fil ardhi” (Semua yang ada di bumi adalah kepunyaan Allah).Â
“Ayat itu membuat saya selalu gelisah sejak masih muda hingga sekarang, sangat berat rasanya untuk memahami ayat itu,” lanjut pria asal Jatilawang Banyumas itu.
Karena ayat itu Ahmad Tohari berfikir, jika yang dimaksud lahu dalam ayat tersebut adalah orang-orang baik seperti santri dan kiai saja, lantas bagaimana nasibnya orang-orang yang dicap tidak baik, apakah mereka masuk dalam kategori lahu atau tidak, padahal mereka juga diciptakan oleh Allah SWT.
Baca Juga : Ilmu Dari Gus Dur yang Dipakai Ahmad Tohari Untuk Menulis Ronggeng Dukuh Paruk
“Ternyata mereka juga masuk dalam lahu itu, termasuk Ronggeng juga lahu,” tegas Tohari.
Ahmad Tohari menjelaskan bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk sebenarnya adalah cerita tentang riwayat perjalanan hidup manusia. Perjalanan hidup manusia menurut para kiai adalah perjalanan rohani, atau perjalanan spiritual.
Jika para kiai ditanya Ma Huwal Islam? Apa itu islam? mereka pasti akan menjawab dengan dalil yang bersumber dari Al-quran dan Hadis. Sedangkan jika saya yang ditanya seperti itu, saya tidak akan menyalahkan jawaban para kiai, tapi saya memiliki jawaban sendiri.
“Islam adalah perjalanan rohani manusia ‘Minadzulumati Ilan Nur’ (dari kegelapan menuju cahaya) dan novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah perjalanan kehidupan Srintil yang sangat dzulumah, menuju An-Nur. Berakhir pada kesadaran tauhid,” jelasnya.
Ahmad Tohari berpesan, membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk jangan hanya setengah-setengah, apalagi hanya membaca pada bagian yang saru-saru saja.
“Nanti yang sufi malah terlewatkan dan tidak terbaca,” pungkas Tohari sambil terkekeh.(*)