Jurnalisme Filantropi: Tidak Sekadar Mengekspos Kebaikan

Jurnalisme Filantropi: Tidak Sekadar Mengekspos Kebaikan

Matahari masih tinggi saat saya tiba di Pesantren Miftahul Huda Kroya Jumat, 23 Mei 2025. Gugusan awan putih di langit tampak mulai menggumpal, membuat suasana kota kecil di wilayah Cilacap bagian timur itu terasa sedikit sejuk.

Ini mungkin menjadi yang kesekian kalinya saya berkunjung ke Kroya. Bagi warga Banyumas seperti saya, berkunjung ke daerah Cilacap mungkin tak terasa begitu spesial, karena rasanya seperti berkunjung ke tetangga samping rumah.

Berbeda dengan teman-teman lain yang datang dari wilayah Jawa Tengah bagian utara seperti Pekalongan, Rembang, Demak, Pati dan Semarang. Barangkali ini menjadi momentum pertama kalinya mereka berkunjung ke Kroya.

Namun, satu hal yang membuat kunjungan saya ke Kroya kali ini terasa cukup spesial adalah saya berkunjung ke salah satu pesantren bersejarah di Kabupaten Cilacap, Pesantren Miftahul Huda Kroya.

Yah, meskipun saya datang bukan untuk mendaftar sebagai santri atau mondok, melainkan hanya untuk mengikuti workshop jurnalistik filantropi yang diadakan oleh NU Online dan NUCARE-LAZISNU selama tiga hari.

Jurnalisme filantropi bagi saya adalah sebuah barang baru, mungkin juga bagi teman-teman peserta yang lainnya. Karena, sepanjang saya beraktivitas di dunia tulis menulis, yang saya tahu hanya dua jenis berita saja, hardnews dan softnews. Ah, mungkin itu karena kebodohan saya saja, sehingga saya baru tahu sekarang jika ada satu genre jurnalisme bernama jurnalisme filantropi.

Baca Juga : Direktur NU Online: Jurnalisme Kunci Kenalkan NU pada Gen Z

Jurnalisme Filantropi: Bukan Untuk Menjual Kesedihan!

Pemberitaan tentang aksi-aksi sosial dan kemanusiaan sering kali hanya berhenti pada narasi yang menjual air mata dan kesedihan, bahkan cenderung tampak seperti hanya mengeksploitasi penderitaan. Alih-alih bisa menginspirasi banyak orang yang melihatnya, sebaliknya hanya mendramatisir suasana belaka.

Setidaknya itulah alasan yang bisa saya tangkap kenapa NU Online dan NUCARE-LAZISNU sampai harus mengelar workshop jurnalistik filantropi selama 3 hari, 23-26 Mei 2025 di Pesantren Miftahul Huda, Kroya Cilacap.

Terlepas dari makna secara tekstual tentang apa itu jurnalisme filantropi yang masih sangat terbuka lebar untuk diperdebatkan. Dan saya rasa, Hamzah Sahal, selaku Direktur NU Online saat memaparkannya di sesi pertama pelatihan juga tak begitu mempersoalkan maknanya secara harfiah. Namun ia lebih menekankan pada konteksnya, yaitu jurnalisme yang bukan hanya menjual kesedihan, mengeksploitasi penderitanya.

Lebih dari itu, jurnalisme filantropi adalah jurnalisme yang  lebih menekankan pada nilai-nilai kedermawanan. Baik dalam bentuk materi maupun non-materi. Kedermawanan tak melulu soal menyumbang mie instan, uang dan beras saja.

Kedermawanan bisa juga berupa tenaga, ilmu, bahkan waktu dan perhatian. Di sinilah letak pembeda yang sangat penting antara jurnalisme biasa dengan jurnalisme filantropi. Jika jurnalisme umum hanya sebatas melaporkan peristiwa dan aksi sosial sebagai fakta, maka jurnalisme filantropi menyorot sisi kemanusiaannya. Ia mengangkat semangat berbagi, semangat melayani sesama.

Tujuan dari jurnalisme semacam ini pun tidak sederhana. Pertama, sebagai bentuk apresiasi. Ya, jurnalisme ini hadir untuk memberi penghargaan terhadap para pelaku kebaikan.

Mereka yang mungkin selama ini bekerja dalam diam, tanpa sorotan kamera, tanpa pamrih. Melalui tulisan, kita diajak untuk tidak melupakan jasa-jasa mereka, bahkan sekecil apapun perannya dalam membantu sesama.

Tujuan kedua adalah literasi. Jurnalisme filantropi berfungsi sebagai wahana edukasi masyarakat. Ia mengedukasi bahwa kebaikan itu bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dalam bentuk apa saja.

Bahwa membantu tidak harus kaya dulu. Bahwa berbagi bukan soal banyaknya, tapi soal kemauan. Dan bahwa menjadi manusia itu, pada hakikatnya, adalah tentang saling meringankan beban dan membantu satu dengan yang lainnya.

Dan tujuan ketiga, yang menurut saya paling menarik, adalah sebagai bentuk dakwah. Tapi bukan dakwah dalam pengertian biasa seperti ajakan untuk salat, puasa, atau zakat. Itu tentu penting, namun dalam konteks ini, jurnalisme filantropi adalah dakwah dalam wujud amar ma’ruf, ajakan kepada kebaikan universal.

Dakwah untuk peduli. Dakwah untuk ikut merasakan derita orang lain. Dakwah untuk menjadi manusia seutuhnya, yang bukan hanya taat pada Tuhan, tetapi juga bertanggung jawab kepada sesama.

Uniknya, ada juga media yang mengembangkan jurnalisme filantropi hingga ke tahap yang lebih aktif, bukan hanya sebagai pemberita, tapi juga sebagai penggerak. Mereka tidak hanya menulis, tapi juga ikut menggalang donasi, menjadi perantara dana kemanusiaan dari pembaca kepada mereka yang membutuhkan.

Dalam praktik seperti ini, media bukan lagi pihak netral. Ia menjadi bagian dari gerakan itu sendiri, terlibat langsung, bahkan menjadi pelaku filantropi.

Namun tetap harus diingat, bahwa jurnalisme filantropi tidak boleh tergelincir menjadi jurnalisme yang “menjual kemiskinan”. Ada garis tipis antara mengangkat realitas dan mengeksploitasinya.

Di sinilah pentingnya metode yang tepat dalam penyusunan berita, seperti wawancara mendalam yang bukan sekadar mencari kutipan dramatis, tetapi menggali motivasi, perjuangan, dan harapan.

Bukan menyorot air mata semata, tapi memotret keteguhan hati. Bukan mengangkat nestapa untuk dikasihani, tapi menampilkan semangat hidup yang patut diteladani.(*)

Tulisan sebelumnya43 PPPK Baru UIN Saizu Resmi Dilantik, Rektor Tekankan Resapi Pesan Penting Menteri Agama RI
Tulisan berikutnyaKhutbah Idul Adha 1446 H: Pengorbanan Ibrahim dan Ismail di Era Modern

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini