Islam Itu Menamai dan Memaknai Secara Benar

Islam Itu Menamai dan Memaknai Secara Benar
Islam Itu Menamai dan Memaknai Secara Benar

Salah satu hal pokok yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah kemampuan memaknai.

Memaknai apa saja, termasuk memaknai kehidupan.

Kemampuan memaknai ini adalah kemampuan kodrati manusia. Mengenai hal ini, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Baqarah: 31: “Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya”.

Allah membekali manusia dengan kemampuan memberi nama-nama yang dengan kemampuan tersebut manusia memiliki kemampuan untuk memaknai apa saja.

Dengan demikian, sekali lagi, kemampuan menamai dan memaknai adalah khas manusia.

Hanya saja satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa menamai itu akan berkaitan langsung dengan memaknai.

Jika manusia menamai sesuatu itu dengan A, maka nama A ni akan berpengaruh pada pemaknaan manusia terhadap seseuatu yang dinamainya tersebut.

Misalnya, manusia menamai aktivitasnya mencari uang adalah pekerjaaan.

Maka dengan nama yang seperti ini, akan mengantarkan manusia pada pemaknaan bahwa bekerja adalah untuk mencari uang.

Hal ini tentu berbeda jika manusia menamai aktivitasnya mencari uang tersebut adalah sebagai pengabdian.

Maka dengan menamainya seperti ini, juga akan mengantarkan manusia pada pemaknaan bahwa bekerja adalah untuk membantu sesama, bukan semata-mata mencari uang. Demikian seterusnya.

Islam Mengawal Umat Manusia

Islam hadir salah satunya adalah untuk mengawal umat manusia agar tidak salah dalam menamai segala sesuatu dan karenanya agar tidak salah pula dalam memaknai segala sesuatu tersebut.

Islam mengajarkan bahwa pusat dari segala pusat kehidupan adalah Allah, bukan selain-Nya.

Maka perjalanan kehidupan manusia adalah perjalanan menuju Allah (Ngallah), bukan selainnya.

Dengan ini semua, maka semua penamaan yang dilakukan oleh manusia, jika penamaan tersebut tidak ada Allah di dalamnya, maka penamaan tersebut tidak akan mengantarkan manusia pada kebermaknaan menunju Allah (road to Allah).

Dalam sebuah penggalan hadis, Kanjeng Nabi sudah me-wanti-kan bahwa sesungguhnya dunia dan segala apa yang ada di dalamnya adalah terlaknat, kecuali dzikir dan mendekatkan diri kepada Allah.

Berdasarkan penggalan hadis di atas, dapat dipahami bahwa jika manusia tidak menyertakan Allah dalam setiap aktivitasnya maka itu semua hanya akan bernilai dunia.

Padahal dunia dan segala yang ada di dalamnya adalah terlaknat.

Hal ini, dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa jika manusia salah menamai sesuatu, maka ia akan salah pula dalam memaknai sesuatu itu.

Salah dalam konteks hadis di atas adalah tidak menyertakan Allah di dalamnya dan juga tidak dikerangkakan sebagai jalan menuju Allah.

Misalnya, manusia menamai aktivitas makan dan minumnya sebagai cara untuk menunjukkan status sosialnya.

Maka dengan penamaan seperti ini, makan dan minum bagi manusia tersebut adalah sebagai ekspresi eksistensi status sosial.

Seseorang akan merasa status sosialnya tinggi jika makan makanan sesuatu dan atau minum minuman sesuatu.

Sebaliknya ia akan merasa status sosialnya rendah jika makan makanan sesuatu yang lain dan atau minum minuman sesuatu yang lainnya.

Ini adalah penamaan yang salah, karena di dalamnya tidak ada Allah dan atau tidak dikerangkakan sebagai jalan menuju Allah.

Penamaan yang salah seperti ini, pada akhirnya berakibat pada pemaknaan yang salah.

Makan dan minum dimaknai sebagai tolok ukur tinggi dan rendahnya derajat (strata) sosial seorang manusia.

Contoh lainnya, misalnya manusia menamai harta/uang sebagai sumber kebahagiaan.

Maka dengan penamaan seperti ini, ia akan memaknai harta/uang sebagai tolok ukur bahagia dan tidak bahagianya seseorang.

Semakin banyak harta/uang yang dimiliki, seseorang akan semakin bahagia.

Sebaliknya semakin sedikit harta/uang yang dimiliki, maka seseorang akan semakin sengsara.

Sekali lagi, ini adalah penamaan yang salah, karena lagi-lagi di dalamnya tidak ada Allah dan atau tidak dikerangkakan sebaga jalan menuju Allah.

Harta/uang dimaknai sebagai penentu bahagia dan tidak bahagianya seseorang.

Islam menuntun umat manusia pada penamaan yang benar terhadap segala sesuatu.

Oleh karena itu, Islam akan mengantarkan umat manusia pada pemaknaan yang benar terhadap segala sesuatu tersebut.

Dua contoh di atas, jika dibawa ke Islam, maka penamaannya akan berbeda dan otomatis pemaknaannya juga akan berbeda.

Bedanya Islam dengan lainnya adalah adanya Allah di dalamnya dan atau dikerangkakan sebagai jalan menuju Allah.

Makan dan minum oleh Islam bisa dinamai sebagai penguat badan supaya mampu beribadah secara maksimal.

Dengan penamaan seperti ini, maka makan dan minum oleh Islam dimaknai sebagai sesuatu yang mulia yaitu sebagai sesuatu yang berorientasi pada Allah (bukan sekedar penghilang rasa lapar dan dahaga).

Oleh karena itu, dalam sebuah hadis Kanjeng Nabi bersabda: “Apabila makan malam sudah terhidang, maka makan lah terlebih dahulu sebelum melakukan shalat Maghrib, dan jangan lah terburu-buru dalam makan malam tersebut”.

Didahulukannya makan dari shalat, ini menunjukkan bahwa makan itu sebagai sesuatu yang berorientasi pada Allah.

Yaitu sebagai penguat badan supaya dengan badan yang sehat dan kuat tersebut, seseorang mampu beribadah secara sempurna (khusyu’).

Adapun mengenai harta/uang, hal itu jika dibawa ke Islam, maka nama dan maknanya juga akan berbeda.

Islam -lewat al-Qur’an- menamai harta/uang dengan sebutan al-khair (kebaikan).

Hal ini sebagaimana dalam QS. al-Humazah: 8: ‘Sesungguhnya (manusia) cintanya kepada harta (al-khair) benar-benar berlebihan’.

Baca juga: Islam dan Selera Kita Tentang Islam

Dengan penamaan seperti ini, maka harta/uang dalam Islam bermakna baik (positif).

Oleh arena bermakna baik (positif), maka Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk mencari harta/uang dan membelanjakannya secara baik (positif) pula.

Mencari dengan cara yang baik maksudnya adalah mencari yang halal dan sekaligus dengan cara yang halal.

Sedang membelanjakan secara baik, maksudnya adalah menggunakan harta/uang tersebut untuk sesuatu yang tidak maksiyat kepada Allah, atau dengan kata lain untuk sesuatu yang menuju ke Allah.

Demikian ini, cara Islam menuntun umatnya untuk bisa menamai segala sesuatu dengan banar dan memaknainya secara benar pula.

Menamai dan memaknai secara benar adalah menamai dan memaknai yang di dalamnya ada Allah dan atau dikerangkakan menuju Allah.

Wallahu A’lam Bish Shawwab!

Penulis: Dr. Munawir, S.Th.I, M.Si., dosen Ilmu Tafsir Hadits UIN Saifuddin Zuhri dan pengurus LBM PCNU Banyumas 2023-2028

Tulisan sebelumnyaBolehkah Puasa Arafah Tidak Bersamaan Wukuf di Arafah?
Tulisan berikutnyaMbak Erma : Idul Adha Momentum Memupuk Persatuan dan Kesetiakawanan

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini