IBU muda itu terisak di sudut aula sebuah Panti milik pemerintah. Wajahnya sayu, matanya agak cekung ke dalam. Ia sedang menunggu anak semata wayangnya untuk bertemu. Hari itu adalah hari kunjungan keluarga. Panti itu memberi kesempatan bertemu keluarga sebulan sekali. Sang anak sudah satu bulan lebih masuk rehabilitasi untuk memutus ketergantungan dengan narkoba (narkotika dan obat berbahaya) atau Napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif).
“Aku harus bagaimana lagi Ustadz? Anakku dari SD sudah kumasukan ke pesantren. Naik ke SMP, kami carikan sekolah boarding school dengan pendidikan agama juga. Kebutuhan kami cukupi. Kenapa seperti ini hasilnya ya?”
“Ibu, silahkan minum dulu. nikmati snack ini. Terus nanti makan siang…”, kata sang Ustadz mencoba menghibur.
“Sudah sebulan lebih aku merasa kehilangan nafsu makan. Aku hanya ingat, apa yang salah dariku, tentang tanggungjawabku terhadap anak”, ujar perempuan itu.
“Ibu sudah luar biasa. Bekerja tak mengenal lelah, sampai ke Hongkong. Menyekolahkan anak, tak tanggung-tanggung di sekolah unggulan yang berbasis agama, memberikan fasilitas lebih dari orang lain, memasukan ke Panti ini agar lebih baik. Semua itu bukanlah sia-sia.”, ujar sang Ustadz.
“Ya Ustadz, aku bekerja sampai ke luar negeri. Aku ingin anakku kelak menjadi orang alim. Tapi inilah yang aku terima.” Wajah perempuan itu menyiratkan kekecewaan.
Tiba-tiba ibu satu anak itu menangis. Suaminya lebih banyak diam, dan berupaya untuk menjaga perasaan istrinya.
“Barang-barang berharga kami habis untuk beli rokok, minuman dan untuk thongkrongan dengan teman-temannya.” Suaminya memeluk perempuan itu.
“Ibu, semua orang tua ingin anaknya menjadi sosok yang baik. Namun setiap manusia ternyata mempunyai jalan dan proses yang berbeda untuk menuju kebaikan. Ada yang mulus seperti jalan tol, sepertinya hidup ini tanpa kendala. Ada yang harus naik, turun, menukik dan gentawilan. Semua itu bagian dari proses kehidupan. Bukankah ibu sudah membesarkannya, membiayai dan menyekolahkan? Bukankah itu semua adalah bentuk ikhtiar? Kalau ikhtiar sudah, biarlah Alloh yang kuasa tentang hasil. Rehabilitasi ini proses ibu, belum hasil. Semakin panjang prosesnya. Siapa tahu Alloh akan menjadikan mutiara bagi keluarganya,” hibur pendamping ruhani Panti tersebut.
Baca Juga : Iket dan Rumah Gedheg Kyai Ridwan Sururi
Ibu muda itu masih terisak, tangisnya makin mereda. Ia bercerita tentang masa lalunya. Masa ketika ia harus meninggalkan anak dan meninggalkan suaminya untuk bekerja di luar negeri. Ia teringat ketika harus memutus ASI (Air Susu Ibu) dengan pertolongan seorang kamitua desa (dukun), demi mengejar usaha di luar negeri, untuk mempertahankan ekonomi keluarga. Sementara saat itu anaknya baru berumur satu tahun, dan masih sangat membutuhkan asupan air susu dari ibunya. Ketika ibu muda itu meninggalkan kampung halaman, anaknya diasuh oleh suami dan neneknya.
Tak lama kemudian anak lelakinya datang. Dandanannya rapi dan rambutnya sudah pendek. Sang anak memberi salam. Ibu dan anak seketika itu berangkulan. Tangis berdua pun pecah. Bapaknya menyaksikan itu semua dengan air mata yang tak terbendung. Tentunya ada do’a kebaikan dan harapan pencerahan, yang dibawa oleh tetesan-tetesan air mata mereka bertiga. (*)
*) Penulis adalah Ketua Tanfidziyah NU Ranting Ketenger, Baturraden, Banyumas. Bergiat di Komunitas Sastra Pinggiran Indonesia (KOPI).
Menyentuh 😢
Apakah ini kisah nyata atau cerpen,Min?
nyata mba, cuma dibikin narasi
[…] Baca Juga : Iktiar dan Doa, Selanjutnya Terserah Sang Kuasa […]