12 tahun sudah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur wafat. Banyak orang yang merasakan kehilangannya yang mendalam. Ia seorang yang kharismatik, jenaka, dan humanis. Tiada yang meragukan kealiman dan keulamaannya. Gaung resonansi keulamaannya terasa hingga ke seluruh penjuru dunia dan ditangkap baik oleh yang seagama maupun yang berbeda agama. Singkatnya, semua orang hampir-hampir legawa menerima status keulamaan Gus Dur.
Semenjak kepulangannya dari pengembaraan intelektualnya di Timur Tengah, dengan cepat Gus Dur menyita perhatian publik akademik di tanah air. Gagasan-gagasan segar progresif dan ‘melawan kemapanan’, menjadi oase di tengah terik padang pasir dunia akademik di Indonesia. Ia menjadi idola baru bagi para anak-anak muda, utamanya generasi muda Nahdlatul Ulama, tempat di mana latar belakang Gus Dur berasal.
Sekian banyak penghargaan dalam bidang akademik maupun yang non-akademik berhasil diraihnya. Dia adalah intelektual Muslim yang mendapat julukan the news maker dan pernah terpilih menjadi tokoh terpopuler sebanyak tiga kali; Tahun 1989 oleh Surat Kabar Pikiran Rakyat; tahun 1990 oleh Majalah Editor, dan tahun 1999 oleh Surat Kabar Kompas.
Gus Dur dan Pemikiran Islam
Fachry Ali dan Bakhtiar Efendi di periode 80-an membedakan tipe-tipe pemikiran Islam pasca “pemikiran baru” ke dalam empat pola utama, yaitu neo-modernisme, sosialisme demokrasi, internasiomalisme atau universalisme Islam, dan modernisme.
Neo-modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernisme dengan tidak menghilangkan tradisi keislaman yang ada. Pendukung utama pemikiran ini di Indonesia adalah Gus Dur dan Nurcholis Madjid (Cak Nur).
Sosialisme demokrasi lebih melihat Islam sebagai kekuatan yang memotivasi dan mentransformasikan masyarakat dalam segala aspeknya.
Sementara Internasionalisme atau Universalisme Islam berpendapat bahwa Islam bersifat universal dan oleh karenanya diktum-diktumnya tetap. Sehingga menurut aliran pemikiran ini, tidak ada dikotomisasi nasionalisasi dan Islamisasi. Islam harus global dan menyeluruh, tidak dibatasi sekat-sekat nasionalisme.
Modernisme Islam lebih menekankan aspek rasional dan pembaharuan pemikiran yang sesuai dengan modernitas dan cenderung puritan.
Baca Juga : Gus Dur Dapat Gelar Bapak Amil Zakat dari BAZNAS
Sebagai seorang ulama yang lahir dari rahim pesantren, bisa dikatakan semua pemikiran dan gagasan-gagasan Gus Dur berangkat dari konstruksi fikih klasik yang sebenarnya konservatif. Akan tetapi ia juga progresif dan liberal. Tampak sekali dalam pemikirannya yang akomodatif terhadap modernitas, perubahan, dan pembangunan namun tetap berpijak pada tradisi.
Tema-tema yang muncul dan dominan dari tulisan-tulisan Gus Dur yang humanistik dan liberal tanpa harus meninggalkan prinsip Islam tradisional Sunni yang meliputi tawasut, tasamuh, dan i’tidal.
Sintesis yang dirumuskan oleh Gus Dur dalam menyikapi berbagai permasalahan merupakan aktualisasi dari adagium yang seringkali dikutip dalam banyak tulisannya “menjaga sesuatu yang baik yang telah ada dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik”. Dia meyakini ke-universalan Islam dalam nilai, namun dalam praktiknya tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya di mana Islam itu berkembang.
Pemikiran Fikih Gus Dur
Gus Dur berpendapat bahwa fikih walaupun bersumber dari wahyu, ia memiliki orientasi kemanusiaan (al-insà niyyah) yang tampak dalam prinsip-prinsip seperti kesejahteraan, keadilan, kebebasan, persamaan derajat di muka hukum, perlindungan dari kezaliman, dan penjagaan hak mereka yang lemah (Islam Kosmopolitan….hal 1).
Dengan demikian, Islam yang dipandang oleh Gus Dur adalah agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan (humanistik). Prinsip humanistik yang dipegang Gus Dur ini terimplementasikan dalam semua gerak langkah-langkah transformasinya. Gagasan-gagasan tentang pribumisasi Islam, pluralisme, dan bahkan langkah politiknya, selalu bermuara kepada mewujudkan kemaslahatan bagi kemanusiaan.
Gus Dur selalu mengkritik pendekatan agama yang serbaformal. Menurutnya, daripada memperjuangkan ajaran-ajaran Islam menjadi hukum formal, lebih baik memperjuangkan moralitas bangsa. Ia ingin menjadikan muara dari pandangan fikihnya bukan hanya sebagai pos penjagaan tetapi juga sebagai etika sosial. Transformasi yang hendak dicapai oleh Gus Dur adalah umat Islam bukan hanya menjadi saleh secara ritual, tapi juga mempunyai kepedulian tinggi terhadap sesama manusia dan menjadi saleh sosial. Itulah Gus Dur, pengusung fikih transformatif, humanistik.
Gus Dur sudah meneladankan, saatnya kita melanjutkan.
Abdullah Mukti
Mahasiswa Semester 3 Prodi Hukum Syariah angkatan 2020 UNU Purwokerto