Dosen Ilmu Lingkungan UNU Purwokerto: Wilayah Pertambangan Rentan Konflik Sosial dan Pencemaran

Dosen Ilmu Lingkungan UNU Purwokerto: Wilayah Pertambangan Rentan Konflik Sosial dan Pencemaran
Dosen Ilmu Lingkungan UNU Purwokerto: Wilayah Pertambangan Rentan Konflik Sosial dan Pencemaran

Diskusi Publik PC ISNU Banyumas mengenai Tata Kelola dan Politik Lingkungan Nahdlatul Ulama juga menghadirkan akademisi dari Universitas Nahdlatul Ulama Purwokerto.

Dia adalah Budi As’attohara yang merupakan pengajar di program studi terbaru dari UNU Purwokerto, prodi Ilmu Lingkungan.

Dalam kesempatan ini, Budi menguraikan tentang konflik sosial dan pencemaran di wilayah pertambangan.

Fakta ini didapatkan dari studi pada beberapa area pertambangan emas skala kecil di wilayah Banyumas.

Studi menemukan bahwa merkuri yang digunakan untuk mencuci tanah yang mengandung emas.

Merkuri kemudian akan dibuang di sungai dan larut dalam aliran air.

Air ini yang kemudian mengaliri lahan pertanian warga dan kerap digunakan sebagai sarana MCK.

Air sungai yang mengalir membawa limbah dan tanah sisa pertambangan akan menyebabkan sedimentasi, sehingga area tersebut menjadi rawan banjir.

Pertambangan yang bersifat terbuka dengan menggali lapisan luar tanah juga merusak bentang alam pada area tersebut.

Baca juga: Profesor Lingkungan Unsoed: Residu Batubara Menurunkan Tingkat Kecerdasan Anak

Akibatnya adalah pengurangan populasi tumbuhan endemik dan satwa yang biasa menghuni area tersebut.

Penggalian juga menyebabkan penurunan tanah, hal ini berimbas pada beberapa rumah warga yang sudah tidak simetris karena bagian bawah rumah dilewati terowongan galian tambang.

Pertambangan skala lokal juga memberikan dampak sosial, yaitu konflik vertikal antara pemerintah dengan warga sekitar.

Dinas lingkungan hidup setempat memberikan peringatan kepada masyarakat untuk tidak melanjutkan pertambangan tersebut.

Mengingat dampak cemaran yang ditimbulkan kepada lingkungan.

Namun karena masyarakat desa tidak mempunyai banyak pilihan, maka aktifitas pertambangan emas tetap dilanjutkan.

Hal Lebih Parah Tentu Terjadi Pada Pertambangan Skala Besar

Temuan Bowo di atas merupakan gambaran situasi pertambangan di sebuah desa yang dilakukan pada skala kecil.

Jika skala kecil saja bisa memberikan dampak negatif yang berlapis, lalu bagaimana dengan pertambangan skala besar yang melibatkan ratusan hektar lahan konsesi?

Semua pertambangan besar yang dilakukan di Indonesia hampir bersifat terbuka, yaitu mengelupas lapisan permukaan tanah paling atas dan melakukan penggalian dengan membentuk kawah besar.

Proses pembongkaran lapisan tanah tentu akan mencerabut ekosistem alam yang begitu luas, serta membunuh banyak flora dan fauna.

Tambang terbuka ini juga akan sulit untuk direklamasi, mengingat tebal lapisan tanah yang harus dijejalkan kembali ke dalam kawah.

Proses reklamasi juga akan sulit mengembalikan kepada situasi semula, apalagi jika tidak diiringi dengan menanam tanaman yang sesuai dengan kualitas tanah dan lingkungan area tersebut.

Maka, ormas keagamaan perlu mempertimbangkan manajemen pengelolaan tambang.

Akan lebih bijak jika PBNU secara konstruktif menghadirkan para kader yang mumpuni dalam hal pengelolaan wilayah tambang.

Pengelolaan meliputi proses kajian sosial, lingkungan, dan industri.

Sehingga bisa melakukan aktifitas pertambangan yang minim resiko kerusakan lingkungan, misalnya melakukan proses pertambangan tertutup tanpa mengelupas lapisan permukaan tanah.

Tulisan sebelumnyaProfesor Lingkungan Unsoed: Residu Batubara Menurunkan Tingkat Kecerdasan Anak
Tulisan berikutnyaAkademisi Universitas Indonesia: 3 Masalah Pada Cara Pandang Gus Ulil Mengenai Konsesi Tambang

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini