Di Balik Ngaji Falakiyah MWC NU Ajibarang, Ada Cerita Maksus Mantan Ketua Ranting NU Jingkang

JAMAN orba (Orde Baru), bapak saya berjalan kaki dari Jingkang ke Ajibarang untuk mendapatkan surat pemberitahuan besok lebaran,” kata Safi’i, mantan Ketua PAC GP Ansor Ajibarang di sela kegiatan Ngaji Falaqiyah MWC NU Ajibarang, di Gedung Muslimat NU Pandansari Kecamatan Ajibarang, Ahad 9 Juni 2024.

Jarak Jingkang – Ajibarang 10 kilometer itu biasa dilalui Maksus yang kini berusia 71 tahun bersama pengurus ranting NU desa lainnya. Biasanya Maksus berjalan kaki bersama dengan Masdik dan Kastam untuk menemui pengurus MWC NU Ajibarang. Untuk menempuh jarak 10 kilometer ini biasanya mereka tempuh dalam waktu sejam lebih.

“Mereka biasanya berangkat ke Ajibarang sehabis magrib dan berbuka puasa di tanggal 29 Ramadan. Karena waktu itu mereka tidak mendengarkan radio ataupun televisi. Tetapi tetap menunggu surat pemberitahuan lebaran dari pengurus NU tingkat kecamatan,” katanya.

Untuk mencapai Ajibarang, biasanya pengurus ranting NU ini harus berjalan melintasi jalan kabupaten, jalan desa hingga perkebunan warga dengan kondisi desa yang saat itu masih gulita. Di tahun 1990-an jaringan listrik belum masuk ke desa-desa di wilayah Kecamatan Ajibarang bagian selatan yang berbatasan dengan Kecamatan Purwojati tersebut.

“Bapak saya biasanya memakai senter dengan batu baterai 4 buah. Biasanya di siang hari baterai itu akan dijemur terlebih dulu,” katanya.

Akses jalan kabupaten dan desa waktu itu juga masih didominasi jalan rusak dan tak layak dilintasi kendaraan. Terlebih lagi waktu angkutan dan motor juga masih terbilang jarang dimiliki oleh pengurus ranting NU waktu itu.

“Selain berjalan kaki dan melintasi kebun, untuk mempercepat biasanya mereka menempuh jalan pintas dengan menyeberang Sungai Datar lewat Desa Pancasan. Bapak saya dari rumah, biasanya akan menghampiri atau menjemput teman dari desa tetangga yaitu Sawangan,” jelasnya.

Kalau tidak salah, waktu itu kata Safi’i sesuai informasi bapaknya, ketua MWC NU Ajibarang adalah Kiai Abdul Hamid. Sesampai di rumah kiai, mereka akan mendapatkan copyan ketikan surat dari PCNU Banyumas, Ir Suwarso. Surat itu digandakan dengan menggunakan karbon.

“Satu orang pengurus ranting biasanya membawa sejulmah copyan surat dari PCNU ini dan sepulangnya mereka akan mampir di masjid-masjid yang dilintasinya. Biasanya surat itu sampai di masjid-masjid NU itu sekitar pukul 11 malam. Dan setelah dinyatakan sah besoknya lebaran, maka mulai pukul 11 malam biasanya langsung takbiran,” katanya.

Karena tidak ada listrik dan perangkat sound system yang memadai, biasanya masjid ataupun musala akan menyewa speaker dan aki. Satu malam biasanya akan disediakan dua aki  yang disetrum terlebih dulu di Ajibarang.

Kebiasaan menjemput surat itu berlangsung sekitar tahun 1995 ketika  pengumuman lebaran disiarkan di radio khususnya RRI Purwokerto. Warga dan pengurus ranting biasanya akan mendengarkan pengumuman dari pemerintah terkait awal lebaran Idul Fitri ataupun Idul Adha. Waktu itu Menteri Agama adalah Tarmizi Taher.

“Jadi sewaktu bapak pulang dari Ajibarang, biasanya warga desa mulai memotong ayam ketika jam 1 malam, untuk makanan lebaran besok harinya,” katanya memungkasi kisah setelah suara kumandang tarhim dari Masjid Baiturrahmat 1 Desa Pandansari terdengar.

Kumandang tarhim itu bukanlah suara dari jemaah atau pengurus masjid setempat, melainkan dari mesin otomatis yang dipasang kemarin oleh pengurus  masjid.

Pengurus masjid itu kini tak lagi menggunakan ‘jam istiwa’ sebagaimana orang dulu menandai waktu salat. Bedukpun tak lagi ditabuh sebelum adzan.  Tak berlangsung lama setelah itu terdengarlah suara kumandang Adzan Duhur dari H Dirsam yang tak lain merupakan ayah dari pengurus PCNU Banyumas, Indra Purnama.***

Tulisan sebelumnyaSopir Penderek Kiai Plat-R Ikuti Training Safety Driving
Tulisan berikutnyaRois Syuriah KH Mughni Labib Paparkan Soal Haji Tanpa Visa Haji, Bagaimana Hukumnya

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini