Cerita (Orang) NU Desa

Hiruk pikuk NU di atas yang konon ‘di pusaran tambang’ sebagaimana ramai diperbincangkan di forum penggede dan media sosial masih terasa. Namun bagi mereka yaitu orang NU di desa, bahkan tak menyadari itu. Apalagi bagi bapak-bapak atau kakek-kakek yang tak akrab dengan ‘guliran’ atau scrolling gadget. Jemari mereka lebih akrab dengan ‘thingwe’ ataupun rokok kretek kelas bawah dengan rasa buah-buahan.

Orang NU di desa sebagian mungkin tak tahu apa itu diksi NU Sultan ataupun NU Kramat. Mereka juga bahkan mungkin tak ingin tahu soal ‘suasana gerah dan panas’ di atas sana. Bagi mereka adalah kesehatan mereka, bisa makan hari ini, bisa memberikan uang saku untuk anak atau cucu besok hari, itu sudah cukup.

Ber-NU itu cukup sederhana bagi mereka. Yang penting sehat waras bisa beramaliyah. Mereka bisa tahlilan atau yasinan fadilah tiap jumah. Setelah Yasinan mereka medang teh tawar kebul-kebul. Usai yasinan, sang kiai kampung biasanya akan mengulang dan mengulang lagi pelajaran soal fiqih salat. Karena pastinya di desa, tentulah masih banyak orang yang sembahyang ‘rubuh-rubuh gedhang’.

Usai kuliah atau pengajian, mereka akan berceloteh. Terkadang ada keluhan soal tetek dan bengek yang dirasakan mereka. Soal ‘boyok atau beyek, pinggang yang linu, atau bengkek’, misalnya. Menertawakan diri sendiri ataupun temannya yang duda dan penakut untuk menikah lagi, karena tak disetujui anaknya atau lainnya sudah menjadi kebiasaan. Candaan itu sebatas candaan, tidak ada yang diambil hati.

Setelah pukul sembilan malam rampung acara Yasinan, nadliyin (orang NU) desa ini akan pulang. Kalau beruntung, terkadang mereka akan ‘menyangking’ berkat makanan matang ataupun ‘berkat mentahan’ bahan makanan. Ya, begitulah amaliyah rutinan menjadi pengaya, perekat mereka untuk NU-an. Tidak ada istilah berebut berkat, bahkan yang tidak berangkatpun biasanya akan dititipi berkat.

Ya, di tengah riuh informasi bahkan tsunami informasi sekarang ini ternyata masih ada ruang yang sepi. Ya, NU desa yang menjalankan amaliyah-amaliyahnya. Mereka asyik dengan piranti lama dan segala keterbatasan yang ada. Namun kekhidmatan tak terkurangi oleh itu. Bahkan silaturahmi tetap berjalan tanpa harus ada undangan kertas ataupun daring.

Sayangnya sekarang ini, ketika mulai berganti generasi, kini mulai ada pergantian piranti. Buku-buku yasinan yang berisi gambar almarhum atau almarhumah keluarga jamaah Yasin yang berisi silsilah, anak cucu, cicit kini mulai ditinggalkan. Jamaah Yasin atau NU muda mulai membaca Yasin dari ponsel pintarnya. Dan sudah mulai terjadi, mereka mulai asyik sendiri setelah yasin dan pengajian yasin rampung. Mungkinkah candaan fisik, verbal dan saling lempar olok-olok di antara jamaah itu kelak akan hilang dengan picu pergantian piranti ini? Entahlah….

 

Tulisan sebelumnyaRibuan Jamaah Hadir di Bukit Tahlil, JATMAN Banyumas Sahkan Program Kerja

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini