MALAM itu, jadwal ngaji di rumahnya adalah menghafal dan membedah kitab Hidayatussibyan untuk anak usia SMP dan SMA di lingkungannya. Kitab tajwid Hidayatussibyan adalah kitab pokok yang menjadi dampingan ketika ia belajar bersama membaca Al Qur’an dengan anak-anak remaja di lingkungannya.
Malam yang cerah itu, sudah masuk nadhom yang ke tiga, tentang Nun Mati dan Tanwin. Para santri menghafal nadhom atau bait yang ke empat dengan cara melagukannya seperti irama-irama shalawatan. Cara seperti itu supaya suatu saat nanti, bisa diiringi dengan genjring.
Menghafal dengan cara melagukan dengan irama-irama indah, adalah metode hafalan yang sudah tak asing lagi dalam dunia pesantren. Ternyata para santri di lingkungan rumahnya, menikmati metode tersebut. Mereka bersemangat dan menghafalnya seperti tiada beban. Pembiasaan seperti itu, ia harapkan bisa bermanfaat.
Setelah selesai ngaji, anak- anak santri yang berusia pra remaja tersebut tidak langsung pulang. Istri lelaki tersebut selalu menyediakan air teh dan makanan kecil untuk santri suaminya.
“Aku ingin sedikit membuat senang para pencari ilmu….,” katanya suatu malam.
Terkadang terhidang di depan para santri pisang goreng, ubi godog, ubi goreng, roti, dan lainnya. Banyak hasil kebunnya yang ia masak untuk para santri kalong tersebut.
“Para santri itu adalah pencari ilmu istimewa, hidupnya dido’akan oleh mahluk lain. Baik makhluk di darat maupun dalam lautan…maka berilah ia minum dan makanan seadanya setelah ngaji,” ujar sang suami kepada istrinya suatu hari.
Lelaki itu bersyukur, di tengah-tengah kesibukan anak- anak dengan HP Android nya, masih ada yang mau ngaji Hidayatussibyan, Ta’lim Muta’alim, Safinatunnajah dan lainnya. Lebih bersyukur lagi, ia bisa belajar bersama dengan para remaja di lingkungannya.
Lelaki itu bukanlah siapa-siapa, dan bukan dzuriyat kyai atau ulama besar. Jika saat ini bisa bersama-sama belajar ilmu-ilmu agama, mungkin sekali karena do’a gurunya juga.
Setelah itu, ia dihubungi temannya untuk segera ke pesantren di desa sebelah. Ada acara yang dulu bertahun-tahun digagas dan dilaksanakan oleh pengasuh pesantren, namun sempat berhenti karena sesuatu hal. Rutinan Ahad Wagean, bertemunya antara Kyai, alumni dan wali santri.
Rutinan Ahad Wagean juga diawali dengan mujahadah Nihadul Mustaghfirin ijazah dari KH. Ahmad Muhammad pesantren Tegalrejo, Magelang.
Ia didapuk oleh jamaah untuk menjadi imam mujahadah dan imam shalat hajat. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan, tidak mungkin dalam perhitungan matematika pikirannya, dan sangat tidak pantas baginya. Karena posisi itu dulu diampu oleh pengasuh pesantren, gurunya yang ia hormati. Namun terpaksa tugas mulia itu ia jalani.
Naik derajat? Apa ujian berat? Pikirnya sesaat setelah mujahadah selesai. Di depan pesantren gurunya, sebelum pulang, hatinya gelisah. Ia menerobos malam pekat dan dingin menyelusuri jalan sepi menuju rumahnya.
Di gang masuk menuju rumahnya ia berhenti. Terbayang ujian berat yang sedang ia alami. Tentang keluarganya, tetangganya, pengurus masjid, usahanya yang sedang down dampak dari covid-19, dan terbayang juga harus melunasi tanah untuk Majelis Ta’lim nya.
Pulang dari pesantren ia membuka HP. Dan ia tak nyenyak tidur. Banyak chat dari teman-temannya yang mendatangkan kesedihan-kesedihan. Ia sangat sering mengalami banyak ujian sesaat setelah ngaji, khutbah, atau lainnya. Ia tak langsung tidur, diambilnya tasbih, dan shalawat Adrikni pun ia lantunkan. “Aku harus berdamai dengan ujian-ujian itu”. Bisiknya di tengah malam.
Baturraden, September 2021