Bayar Bayar Bayar : Sukatani Menyentil, Lalu Tersentil
Di tengah riuh rendah jagat maya, muncul sebuah tembang yang sukses mengaduk-aduk emosi dan pikiran kita. “Bayar Bayar Bayar” judul yang sederhana namun menghentak, dibawakan oleh duo punk asal Purbalingga, Sukatani. Lagu ini dengan cepat merangsek ke lini masa kita, memicu perdebatan sengit antara kebebasan berekspresi dan batasan kritik sosial.
Liriknya tajam, menohok langsung ke jantung permasalahan yang kerap kita alami sehari-hari. Mulai dari urusan bikin SIM hingga angkot yang ngetem, semua dikaitkan dengan “bayar polisi”. Sebuah sindiran halus -atau mungkin tidak begitu halus- terhadap praktik pungutan liar yang sudah mengakar. Tak heran, banyak yang merasa lagu ini seperti soundtrack kehidupan mereka.
Namun, di balik euforia dan tepuk tangan virtual, badai mulai mengumpul. Institusi yang tersindir merasa perlu angkat bicara. Tekanan demi tekanan datang mungkin saja teleh datang ke mereka, hingga akhirnya Sukatani merasa perlu untuk menarik rem darurat. Dalam sebuah video yang diunggah di Instagram @sukatani.band, mereka menyampaikan permintaan maaf kepada Kapolri dan institusi Polri. Mereka menegaskan bahwa lagu tersebut ditujukan untuk oknum, bukan keseluruhan institusi. Sebagai langkah lanjut, mereka juga menarik lagu tersebut dari berbagai platform digital.
Permintaan maaf ini justru memicu gelombang reaksi baru. Banyak orang menduga-duga bahwa Sukatani dipaksa untuk bungkam, melihat permintaan maaf sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa lirik lagu tersebut terlalu generalisasi dan bisa merugikan citra institusi secara keseluruhan.
Menariknya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) turut angkat bicara. Mereka menilai bahwa lagu “Bayar Bayar Bayar” bukanlah bentuk penghinaan terhadap polisi, melainkan kritik sosial yang dilindungi oleh hukum. Menurut peneliti ICJR, Nur Ansar, lirik lagu tersebut menyatakan kebenaran yang sudah sering dilaporkan dan diberitakan terkait oknum polisi yang melakukan pungli. Oleh karena itu, tindakan klarifikasi dan permintaan maaf yang dilakukan oleh Sukatani dianggap tidak sesuai dengan batasan kewenangan polisi dalam hukum acara pidana.
Di sisi lain, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) juga memberikan pandangannya. Mereka menekankan pentingnya menghentikan sensor dan pembatasan terhadap karya seni. Menurut DKJ, kritik sosial melalui seni adalah bagian dari hak untuk berekspresi di negara yang demokratis. Lirik lagu dengan kritik sosial ini pun banyak dijumpai dalam berbagai genre, seperti punk, metal, atau aliran musik lainnya. Oleh karena itu, pembatasan terhadap karya seperti “Bayar Bayar Bayar” dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi.
Terlepas dari kontroversi yang ada, fenomena “Bayar Bayar Bayar” membuka kembali diskusi lama tentang batasan kritik sosial melalui seni. Apakah musisi memiliki kebebasan penuh untuk menyuarakan keresahan mereka? Ataukah ada garis tipis yang tak boleh dilanggar demi menjaga harmoni? Yang jelas, Sukatani telah berhasil mengingatkan kita bahwa musik bukan sekadar hiburan, tapi juga cermin realitas yang kadang tak nyaman untuk ditatap.
Sukatani, dengan segala kontroversinya, telah mengajarkan kita bahwa seni memiliki kekuatan untuk menggugah, menginspirasi, dan bahkan memprovokasi perubahan. Semoga ke depan, ruang bagi ekspresi seni dan kritik sosial semakin terbuka lebar, tanpa rasa takut dan tekanan.(*)