Menengok Jejak Al ‘Alawiyin dari Perbatasan

Riwayat Habib Ja'far bin Idrus Al Habsyi

Menengok Jejak Al 'Alawiyin Habib Ja'far Al Habsyi di Banyumas
Doa bersama yang dipimpin oleh habib Ja'far al Habsyi

DARI perbatasan Banyumas-Brebes, tepatnya Desa Kranggan, Kecamatan Pekuncen, Banyumas, jejak dan peran keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah Az Zahro (Al ‘Alawiyin) di Banyumas bisa dimulai. Dari desa kecil di wilayah Banyumas bagian barat ini, pewaris darah Nabi Muhammad SAW ini saling berjalin berkelindan dengan tokoh dari berbagai daerah lain.

Jejak keturunan nabi ini dari jaman perjuangan hingga pasca kemerdekaan bisa ditelusuri lewat nama Habib Ja’far bin Idrus bin Sholeh bin Segaf Bin Hud Al Habsyi. Lahir 1936, Habib Ja’far terkenal sebagai pendakwah kultural yang kharismatik, merakyat, ahli hikmah yang sering menyokong para pejuang penegak NKRI. Di masa berikutnya, iapun menjadi tokoh incaran dan pantauan pemerintah karena perbedaan haluan politik yang didukungnya.

Ja’far kecil, hidup di bawah asuhan sang ibu yaitu Sarifah, perempuan Jawa anak tokoh desa setempat. Ayahnya adalah Habib Idrus Al Habsyi yang sebelumnya menetap di Purwokerto dan Sokaraja. Diketahui, selain mempunyai istri di Kranggan, Habib Idrus juga mempunyai istri di wilayah Sokaraja dan Pekalongan. Hingga kini, anak keturunan Habib Idrus inilah terkenal menjadi motor dakwah di daerah Kota Santri Banyumas dan Kota Batik tersebut.

Selain menjadi pendakwah dan pengembara, Habib Idrus juga terkenal sebagai tokoh pejuang yang diincar oleh Belanda. “Habib Idrus dan putranya meninggal dunia ditembak oleh Belanda di Randudongkal, Pemalang dan dimakamkan di sana. Peringatan Haul untuk beliau bahkan sudah mencapai ke 108,” kata Habib Muhammad, putra Habib Ja’far bin Idrus al Habsyi.

Sepeninggal ayahnya, Ja’far kecil hingga remaja terbilang lebih banyak hidup sederhana bersama ibunya. Anak semata wayang dari Habib Idrus dan Sarifah ini kemudian ‘nyantri’ di Pondok Pesantren Cikeris, Sumpiuh, Banyumas. Sambil belajar agama kepada Kyai Ibrahim, Ja’far remaja juga turut serta menggembala kambing hingga memasak. Ia tak pernah mengenyam pendidikan ala Kolonial Belanda ataupun Jepang.

Arab Pegon

Tak ayal semasa hidupnya, komunikasi tertulis Habib Ja’far lebih banyak menggunakan huruf Arab ‘pegon’. Meski demikian gaya dakwahnya yang membumi tetap diterima oleh masyarakat. Habib Ja’far kemudian menikah dengan Towiyah binti H Muhtarom. Untuk menopang hidupnya, ia berdagang sekaligus berdakwah. Gaya ceramah Habib Ja’far terbilang cukup lugas, cerdas, humoris dan ahli hikmah.

“Habib Ja’farlah bisa dibilang orang yang telah menghilangkan pantangan bagi pejabat pemerintah untuk masuk ke wilayah Parakansinjang Tengah, Desa Banjaranyar, Pekuncen yang di dalamnya terdapat makam Raden Ayu Fatimah Woro Sembodro yang dipercaya istri Sunan Kalijaga,” ujar Amir Sulthoni, warga Banjaranyar, Pekuncen bersaksi.

Selain sering berkeliling dakwah di eks Karesidenan Banyumas, Habib Ja’far juga tak melupakan kegiatan agama di kampungnya sendiri. Maka di perbatasan Banyumas Brebes inilah, bersama tokoh agama setempat wilayah Kranggan dan Pekuncen, ia merintis berbagai pengajian kultural di masjid, majelis taklim hingga pembacaan Ratib al Hadad dan Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al Jaelani.

Di sektor pendidikan formal, ia merintis berdirinya Sekolah Arab atau madrasah diniyah yang di tahun 1968 berubah menjadi madrasah ibtidaiyah (sekarang MI Maarif NU 1 Kranggan). Selain itu juga ia juga turut merintis berdirinya MTs (sekarang MTs Maarif NU 1 Pekuncen).

Sebagai tokoh dan ‘orang’ Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gerak gerik dan ceramah Habib Ja’far juga sering diawasi aparat ketika orde baru berkuasa. Meski demikian, ia tak pernah menjelek-jelekan pemerintah yang terbilang cukup otoriter. Pilihan politiknya juga membuat madrasah kurang mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Selain dikenal dekat dengan masyarakat, ia juga rajin bersilaturahim dan takdzim kepada tokoh ulama. Tak mengherankan, ia juga menjadi salah satu ulama yang disayangi oleh Kyai Muzni, Karangcengis, Lesmana dan Kyai Abdul Malik, Kedungparuk, Mersi. Bersama para kyai pendiri pesantren di wilayah Pekuncen seperti Kyai Muhammad Ngisomudin, Kyai Dimyati, Kyai Abdul Jalil dan Kyai Abdul Halim inilah membuat nafas religi di Banyumas bagian barat semakin kuat dan diperhitungkan.

Baca Juga : Tentang Abah dan Pertanyaannya (1)

Di tingkat struktural organisasi Nahdlatul Ulama Pekuncen dan Banyumas, Habib Ja’far Al Habsyi juga langganan duduk di jajaran Syuriah. Usai orde baru runtuh, iapun turut serta berperan sebagai dewan pertimbangan dan penasihat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Banyumas. Meski demikian, kehidupannya tetap berlangsung sederhana.

Dari seorang istri itulah, Habib Ja’far mempunyai lima orang putra dan lima orang putri. Anak-anaknya inilah yang kemudian semakin mewarnai kehidupan religius di wilayah Kecamatan Pekuncen dan Banyumas. Anak-anaknya mengaku dididik secara disiplin dan keras oleh Habib Ja’far. Namun untuk pilihan pendidikan, Habib Ja’far terbilang cukup demokratis.

“Saya bersekolah di tingkat formal adalah inisiatif saya sendiri. Abah mengamanatkan agar kita bisa ‘umpan papan’. Kita tidak harus selalu berada di depan. Namun harus saling merangkul dan bersama-sama dengan semua pihak khususnya dalam berdakwah,” jelas Habib Muhammad.

Rajin Bersilaturahmi

Silaturahmi antara jejaring al ‘alawiyyin juga terus dijalankanya bersama anak-anaknya. Berbagai pengajian Haul para habaib, Maulid dan kegiatan lainnya di berbagai daerah di Pulau Jawa juga dilaksanakan Habib Ja’far. Maka hingga sekarang jejaring inilah yang diteruskan oleh anak cucunya yang masih hidup.

Dalam jalur tasawuf, Habib Ja’far mengikuti Tarekat Sadziliyah. Meski ia memutuskan tidak menjadi mursyid tarekat, meski banyak orang ingin berbaiat kepadanya. Satu-satunya yang diketahui keluarganya, Habib Ja’far sempat membaiat Kyai Muzni, Parakanhonje.

Berkat disiplin pendidikan yang diberikan kepada anaknya inilah, anak-anak Habib Ja’far terbilang berhasil. Selain Habib Muhammad Al Habsyi yang aktif sebagai pendidik, aktivis, politisi, pendakwah, putra sulungnya yaitu almarhum Habib Idrus bin Ja’far Al Habsyi berhasil mengembangkan Pesantren Roudlotul Ilmi sekaligus MTs-MA Ar Ridlo Pekuncen. Habib Idrus juga tercatat sebagai mursyid Tarekat Sadziliyah yang muridnya tersebar hingga luar Jawa.

Kini sepeninggal Habib Ja’far di tahun 2011 dan Habib Idrus di tahun 2018 lalu, warisan pendidikan formal, informal dan kehidupan beragama di wilayah perbatasan Banyumas-Brebes terus dilanjutkan oleh anak cucunya. Dari tahun ke tahun, jumlah santri di pesantren inipun semakin berkembang dan datang hingga dari luar Jawa. Meski telah meninggal dunia, namun makam ayah-anak keturunan Nabi ke 40-41 yang berada di Kompleks Pesantren Roudlotul Ilmi juga ramai dikunjungi warga khususnya rombongan peziarah Wali Banyumas. (*)

Tulisan sebelumnyaTentang Abah dan Pertanyaannya (1)
Tulisan berikutnyaMurka dan Rahmat Allah Melalui Hujan

5 KOMENTAR

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini